Galadesa, Semangat Sepakbola Rakyat

IW - Selasa, 12 Desember 2017 06:23 WIB
Galadesa sepakbola kecamatan Arjosari Pacitan Agustus 2017. undefined

Ratusan orang berkumpul di sebuah stadion yang tak jauh dari salah satu pondok pesantren tua dan berpengaruh di Jawa Timur pertengahan Agustus beberapa waktu lalu. Tepatnya di daerah Arjosari, sekitar sepuluh kilometer sebelah utara kota Pacitan. Mereka datang secara berkelompok dengan menggunakan mobil atau bersepeda motor untuk menyaksikan pertandingan sepakbola amatir antar desa atau biasa disebut ‘galadesa’ . Galadesa juga disebut turnamen antar kampung atau ‘tarkam’. Biasanya, arena galadesa menjadi ajang pemuda menunjukkan bakat hebatnya dalam menggocek bola. Para pemain tampil ‘all out’ untuk memberikan kemenangan untuk kampungnya. Harga diri dipertaruhkan.

Kejuaraan sepakbola antar desa ini digelar untuk menyemarakkan hari Proklamasi Kemerdekaan. Pertandingan dilaksanakan setiap sore dengan menggunakan sistem gugur. Turnamen diikuti 17 tim mewakili desa se-Kecamatan Arjosari. Meskipun pertandingan kelas kampung, perangkat pertandingan pun lengkap, seperti wasit, asisten wasit dan pengawas pertandingan. Aparat keamanan dari Koramil dan Polsek Arjosari disiagakan untuk membantu pengamanan jalannya pertandingan.

Saat matahari mulai merambat ke barat, pertandingan yang mempertemukan Desa Gayuhan melawan Desa Arjosari dimulai. Stadion dipadati penonton, yang rata-rata berasal dari kedua desa tersebut. Mereka menempati sudut-sudut stadion sembari lesehan di bawah pohon yang ditanam di tanggul berumput yang digunakan sebagai tribun, mengelilingi stadion yang pembangunannya belum sepenuhnya rampung. Para pedagang makanan dan minuman pun bertebaran di sekitar lapangan menjajakan dagangannya. Mereka menggelar dagangannya dua meter persis dari pinggir garis lapangan. Turnamen galadesa selain untuk tujuan prestasi, juga menjadi hiburan gratis bagi masyarakat.

Tepat pukul empat sore, pluit dibunyikan sang pengadil, pertandingan pun dimulai. Kedua tim menampilkan para pemain muda dalam ‘skuad’ mereka. Laga berlangsung ngotot, penuh semangat, dan sedikit keras. Bermain di lapangan yang tidak berbatas dengan penonton, tidak membuat para pemain grogi. Teriakan dan ejekan begitu meriah terdengar di seantero stadion. Hal ini menjadi teror mental sekaligus gemblengan tersendiri bagi pemain yang berlaga di galadesa. Pertandingan berlangsung keras dan diwarnai tekling kasar saat berusaha menghentikan laju lawan. Darah muda yang mengalir ditubuh para pemain terkadang menyebabkan perselisihan-perselisihan kecil. Ketegangan yang berujung keributan antar pemain, pemain dengan penonton bahkan sesama penonton menjadi dinamika yang sering terjadi dalam arena galadesa. Namun kesigapan aparat keamanan dalam menjaga ketertiban, tidak menimbulkan kekacauan yang lebih besar. Saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, pertandingan berakhir, dengan kemenangan tipis tim Arjosari 1-0.

Turnamen galadesa sudah digelar di Pacitan sejak tahun 70-an. Biasanya turnemen diselenggarakan setiap bulan Agustus atau hari-hari besar lainnya oleh instansi pemerintah. Hadiah dari kejuaraan tersebut relatif kecil, namun para peserta antusias mengikutinya. Sebab, turnamen ini digunakan sebagai panggung pertarungan gengsi antar desa. Tidak jarang tim-tim mengeluarkan dana puluhan juta rupiah untuk mendatangkan pemain dari luar kota agar bisa menang.

Jika menengok prestasi sepakbola Pacitan pada level Jawa Timur memang tidak ada yang bisa dibanggakan. Minimnya pembinaan sepakbola usia muda yang mewujud pada sebuah kompetisi di semua lapisan usia menjadi penyebab prestasi sepakbola di tanah kelahiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut redup. Dari dulu eksistensi tim Persatuan Sepakbola Pacitan (Perspa) hanya berkutat di level Jawa Timur dan belum mampu naik kelas ke level nasional. Tidak dapat dipungkiri, minimnya dana menjadi kendala utama menjalankan kompetisi sebagai bagian dari pembinaan sepakbola usia muda.

Tak mau menyerah dengan keadaan, segelintir penggiat sepakbola lokal memanfaatkan turnamen galadesa untuk menyiasati kondisi tersebut. Mereka berkeliling dari satu turnamen ke turnamen lainnya untuk mengumpulkan pemain yang akan memperkuat tim Perspa berlaga di kompetisi devisi III Jawa Timur tanpa kenal lelah. Tak jarang talenta dan bakat-bakat alam muncul dari turnamen rakyat tersebut. Toh, pemain seperti Bayu Gatra dan Yabes Roni Malaifani yang pernah memperkuat tim nasional senior dan U-19, awalnya lahir dari permainan antar kampung.

Galadesa memang turnamen kelas amatir, namun keberadaanya selalu ditunggu masyarakat yang haus akan kemenangan dan kebanggaan daerahnya. Sama seperti masyarakat Indonesia yang merindukan kejayaan tim nasionalnya di level Asia bahkan dunia.

Bagikan

RELATED NEWS