Guru, Jasamu Tiada Tara, Tapi Nasibmu Begitu Lara

AZ - Senin, 26 November 2018 14:15 WIB
Sejumlah guru tidak tetap saat bertemu Bupati Pacitan beberapa waktu lalu undefined

Halopacitan, Pacitan—Syair lagu singkat berjudul Jasamu Guru di atas dengan tegas menggambarkan bagaimana besarnya jasa guru bagi sebuah bangsa, termasuk Indonesia. Tidak ada guru, tidak ada ilmu yang diwariskan. Tidak ada guru, takkan ada orang pintar. Sayangnya, banyak dari guru yang masih bernasib memprihatinkan.

Bukan rahasia lagi, banyak guru dengan status tidak tetap atau honorer mendapat honor yang jauh dari memadahi. Bayangkan saja, dalam satu bulan dia hanya mendapat gaji pokok antara Rp100.000-Rp300.000. Apalah arti uang segitu untuk hidup di zaman sekarang ini. Tetapi itulah fakta yang ada,

Setya, salah satu guru tidak tetap atau honorer di Pacitan terdiam ketika ditanya kenapa dia bersedia menjalani profesinya dengan penghargaan yang rendah itu. Seperti berhati-hati memilih kalimat, sosok yang namanya minta disamarkan itu kemudian berkata; "Kita punya ilmu, kalau tidak dibagikan tidak akan ada manfaatnya. lihat perkembangan anak didik katakanlah dari semula belum bisa membaca, menulis dan kemudian bisa, dalam hati sudah cukup bahagia, kadang hal itu yang membuat saya bertahan sampai saat ini," ungkapnya pelan.

Padahal untuk meraih gelar sarjana pendidikan saja, Satya harus berjuang dengan keras dan biaya yang tidak sedikit. Secara jujur dia awalnya berharap dengan menempuh pendidikan tinggi, pekerjaan yang dia jalani juga akan mendapatkan penghargaan yang layak.

Tetapi dengan honor Rp300.000, apa yang bisa dia lakukan? Bahkan untuk ongkos perjalanan, membeli perlengkapan, kosmetik saja tidak cukup. Belum lagi jika jika ada undangan wali murid yang memiliki hajatan ataupun lainnya hingga harus menyumbang.

"Memang kalau dari segi upah ya hanya cukup buat perjalanan saja bahkan tombok, apa GTT tidak perlu makan? Ya yang jelas kalau tidak memutar otak dan hanya andalkan gaji GTT ya tidak makan," katanya.

Padahal, tanggungjawab guru honorer tidak jauh berbeda dengan guru PNS yang gajinya berlipat-lipat besarnya. Astri, sebut saja demikian, guru honorer di wilayah Arjosari ini mengatakan karena minimnya guru PNS maka dia juga memegang kelas yang menjadikan tanggung jawab dan beban mengajar pun hampir sama dengan guru PNS. Setiap hari dia harus ke sekolah meski tidak ada jam mengajar, dan jam kerjanya pun sama dengan PNS.

"Kalau GTT ada yang masuk 3-5 hari, tidak semuanya masuk setiap hari kecuali GTT yang pegang kelas, ada juga yang masuk misal Senin-Rabu atau Kamis dan Jumat-Sabtu ngajar di sekolah lain," katanya.

Seperti Satya, Astri juga punya alasan kenapa dia bertahan menjadi guru honorer dengan gaji minim. Bedanya, dia mengakui sedikit pilihan untuk bisa ganti profesi.

"Mau kerja di perusahaan yang lain usia sudah tidak muda lagi, apalagi sudah keluarga, dan tidak memiliki kompeten di bidang lain apalagi nanti kalau kerja di tempat lain juga masih belajar lagi, sayang ilmunya yang didapat saat kuliah. Lebih baik bertahan jadi GTT, bisa sambil les anak tetangga, toh suami juga nyaranin untuk menikmati saja, siapa tahu suatu saat ada peluang menjadi PNS," imbuhnya dengan nada sedikit pasrah.

Tidak ada cara lain, untuk tetap bertahan hidup, para guru honorer ini harus putar otak untuk mencari tambahan penghasilan. Satya dan Astri misalnya, seperti kebanyakan guru honorer memilih membuka les privat.

Selain itu ada juga yang jualan produk-produk baik kosmetik atau pakaian melalui online, bahkan ada juga yang membuka usaha kuliner. "Banyak teman GTT yang punya kerjaan sampingan, ada yang jualan online, kuliner, buka les, tapi kebanyakan membuka les,” tambah Astri.

Bagi guru honorer laki-laki, selain ada yang mengajar les privat ada juga yang berprofesi menjadi sopir, buruh bangunan, berkebun, berternak, menjadi wasit olahraga, bahkan ada juga yang berjualan cilok keliling dan membuka usaha potong rambut.

"Kadang masuk seminggu tiga kali, kalau pas ada carteran atau pas di luar kota ya izin tidak masuk, lumayan buat tambahan kebutuhan di rumah dan tidak minta sama orang tua, rata-rata GTT itu juga nyambi," ungkap WN, seorang guru honorore pria saat dihubungi Halopacitan Senin (26/11/2018).

Saat ditanya apakah bisa membagi waktu antara mengajar dengan pekerjaan sampingannya menjadi sopir, spontan pun dijawabnya sangat bisa, hal ini karena ia masuk ke sekolah bukan setiap hari dan sebagai sopir pun hanya ketika ada yang membutuhkan.

"Bisalah bagi waktu, kalau ngajar paling dua jam pelajaran, itupun sudah ada guru negeri ya saya cuma bantu saja, kalau nyopir ya tidak setiap hari, itupun juga kerja ikut orang,'' imbuhnya.

Apa yang dijalani Satya, Astri atau WN adalah sedikit gambaran dari bagaimana nasib para pendidik bangsa tersebut sekarang ini. Mereka yang memiliki jasa tiada tara justru harus berjuang keras untuk bertahan hidup layak.

Selamat Hari Guru, terimakasih telah mencerdaskan kami.

Bagikan

RELATED NEWS