Melacak Jejak Manusia Purba di Pacitan (Bagian I): Harta Karun di Kali Baksoka

AZ - Jumat, 01 Maret 2019 10:22 WIB
ilustrasi undefined

Halopacitan, Pacitan—Von Koenigswald dan rekannya, M.W.F Tweedie yang merupakan kurator museum Raffles di Singapura tahun 1935 itu tidak diduga-duga menemukan artefak paleolitik atau peralatan batu manusia purba yang sangat kaya.

Tidak kurang dari 3000 artefak paleolitik telah berhasil dikumpulkannya dari Kali Baksoka. Begitu gembiranya von Koenigswald atas penemuan ini, sampai ia menggelar pertunjukan wayang selama tujuh hari tujuh malam untuk masyarakat Punung, Pacitan.

Setahun kemudian, ia mengumumkan penemuannya itu dalam Jurnal Bulletin Raffles Museum, No. 1, halaman 52-62, berjudul, “Early Palaeolithic stone implements from Java”. Sejak itu, artefak Kali Baksoka terkenal sebagai hasil kebudayaan “Pacitanian”.

Istilah ini kemudian digunakan oleh banyak ahli arkeologi yang meneliti Indonesia, Asia Tenggara dan Asia, juga perbandingan kebudayaan yang sezaman di tempat lain di seluruh dunia.

Kali Baksoka atau Baksoko terletak di sebelah selatan Punung, Pacitan. Ribuan alat-alat batu, Paleolithic ditemukan di salah satu segmen sungai ini baik pada dasar sungai maupun di tebing teras/undak sungai.

Sungai Kali Baksoka atau Baksoko (Sumber:GeoMagz)

Sebagaimana ditulis GeoMagaz, majalah geologi populer yang diterbitkan ESDM, penemuan bersejarah oleh von Koenigswald tersebut menjadi momen penting yang mengawali penelitian arkeologi berkelanjutan di Pegunungan Sewu, khususnya daerah Pacitan.

Penelitian Arkeologi Pegunungan Sewu sebenarnya dipelopori oleh van Stein Callenfels, seorang ahli prasejarah pada 1927. Callenfels melaporkan bahwa dirinya menemukan lebih dari 100 situs alam terbuka dengan kandungan artefak hasil budaya Neolitik.

Penyelidikan selanjutnya oleh de Terra, Teilhard de Chardin, dan Movius pada 1938 yang lebih mengarah pada penentuan ciri-ciri temuan artefak tersebut yang disimpulkan sebagai bagian dari kompleks kapak perimbas-penetak di Asia Tenggara. Penelitian ini juga memberikan pertanggalan atas artefak ini yakni berasal dari kala Plistosen Tengah dan Plistosen Akhir.

Penelitian penting selanjutnya tentang prasejarah Pacitan dilakukan oleh R.P. Soejono (1954), van Heekeren (1972), Bartstra (1976-1978), serta Barstra dan Basoeki (1989).

Awal tahun 1990-an merupakan momen penting bagi penelitian prasejarah Pegunungan Sewu. Saat itu dimulai kerja sama internasional yang intensif dalam penelitian dan publikasi prasejarah di wilayah ini antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dengan Museum National d’Histoire Naturelle (MNHN), Prancis.

Dalam penelitian kerja sama ini banyak sekali kemajuan temuan prasejarah Pegunungan Sewu, daerah Pacitan khususnya. Beberapa peneliti dari dua negara ini antara lain: Truman Simanjuntak, Francois Sémah, Harry Widianto, Hubert Forestier, dan Bagyo Prasetyo pada 1995.

Menurut T. Simanjuntak dalam buku “Gunung Sewu: Sejarah Hunian yang Panjang” yang diterbitkan tahun 2004, kegiatan penyelidikan dan penelitian di area Pegunungan Sewu dari 1935 sampai sekarang telah berhasil menemukan dan mendata 135 situs prasejarah, terdiri atas sekitar 60 situs gua, 70 situs alam terbuka, dan selebihnya merupakan situs aliran sungai.

Lantas bagaimana sejarah kehidupan manusia purba di Pegunungan Sewu terutama di Pacitan dan apa sebenarnya Pacitanian? Kita akan bahas di tulisan selanjutnya. (Bersambung)

Bagikan

RELATED NEWS