Menjaga Sejarah Pacitan, Sumur Njero Kini Terlihat Asri

AZ - Sabtu, 23 Februari 2019 13:30 WIB
Joko Wibowo, juru kunci Sumur Njero yang terlihat baru saja selesai dipugar undefined

Halopacitan, Pacitan—Njero dalam bahasa Indonesia berarti dalam. Asal muasal nama ini menurut berbagai sumber karena sumur tersebut dulunya terletak di kompleks bangunan kabupaten pertama Pacitan.

Diyakini Dusun Ngerjoso dulunya memang menjadi pusat pemerintahan Pacitan sebelum dipindah ke lokasinya saat ini. Sayangnya, tidak banyak yang tersisa dari bangunan atau kompleks tersebut kecuali sebuah sumur dan beberapa benda lain.

Di tempat inilah Raden Tumenggung Notopuro, bupati pertama Pacitan yang diangkat Kasunanan Surakarta menggerakkan roda roda pemerintahan

Hingga saat ini keberadaan sumur tersebut masih cukup terjaga. Bahkan terlihat telah dilakukan pemugaran dan perbaikan di berbagai titik.

Salah satu situs peninggalan bupati pertama Pacitan itu sudah dikelilingi pagar tembok yang terlihat masih baru, dan bagian atas pintu gerbang sudah terdapat gapura bertuliskan 'Petilasan Kabupaten Pertama Raden Tumenggung Notopuro Desa Sukoharjo'

Sedangkan, di bagian dalam pagar terdapat beberapa pohon baik beringin maupun apak di sisi kanan dan kiri yang menjadikan suasana terlihat asri. Selain itu juga terlihat paving beserta pendapa juga masih baru dan tampak bersih. Namun pada bagian sumur hanya sisi atas yang telah ditambah dengan batu bata baru.

"Sumur Njero ini dalamnya sekitar tujuh meter, dan bangunan baru selesai dikerjakan sebelum hari jadi ke-274 Pacitan ini," kata Joko Wibowo, juru kunci Sumur Njero, saat ditemui Halopacitan, Sabtu (23/02/2019).

Gerbang kompleks Sumur Njero (Halopacitan/Sigit Dedy Wijaya)

Sumur njero, lanjutnya, selalu digunakan pada ritual Hari Jadi Pacitan yang biasa disebut ritual 'Tirta Wening' atau pengambilan air di sumur tersebut. Namun, sebelum Hari H, Joko melakukan kegiatan melek-an (tidak tidur) sekitar 3-7 malam di sumur tersebut, hal itu dilakukannya karena mendapat amanah dari orang tuanya yang dulunya juga juru kunci.

"Bisa tiga malam, bisa tujuh malam, bukan apa-apa cuma pesan dari orang tua begitu dan kita jalani, ya intinya berdoa agar Pacitan ke depan semakin tentram, dijauhkan dari bala dan sebagainya," ungkap pria 55 tahun.

Bapak satu anak menjelaskan, disebut Sumur Njero, karena dulu letaknya di dalam kabupaten. Masyarakatpun hingga kini diperbolehkan mengambil airnya yang jernih meski harus seizing juru kuncinya.

Sebagian masyarakat masih meyakini bahwa air dari sumur tersebut bisa menyembuhkan penyakit seseorang. Ia mengaku banyak pengunjung yang datang dari berbagai daerah, hanya untuk meminta air dari sumur ini. Pihaknya tidak meminta sedikit pun imbalan.

"Bagi saya itu hanya lantaran saja, karena segala sesuatu atas kehendak-Nya. Biasanya yang ramai pas hari jadi, dari berbagai daerah banyak yang datang, kalau hari biasa juga ada tapi tidak ramai," ujarnya.

Pengambilan air dari Sumur Njero tersebut tidak dibatasi, selama membawa wadah sendiri. Selain sumur, di tempat ini juga terdapat ompak batu atau penyangga tiang dan terdapat ukiran serta tulisan jawa. Ompak tersebut merupakan bekas tiang penyangga bangunan kabupaten tempo dulu.

"Kemungkinan kabupatennya dulu menghadap selatan, soalnya sebutan daerah sebelah selatan dari Dusun Ngrejoso 'kidul rajek wesi' [selatan pagar besi], biasanya pagar besi di depan dan yang daerah yang utara sebutannya 'lor boto' [utara bangunan bata], dan diartikan kalau bangunan bata penuh berarti belakang," terangnya.

Empat ompak batu yang diduga dulunya sebagai tempat tiang pendapa kabupaten (Halopacitan/Pacitan)

Bukan hanya sumur dan ompak itu saja, Joko yang merupakan juru kunci ke 10 mengatakan masih ada peninggalan berupa rompi dan dua unjung tombak, meski rompi tersebut terdapat sedikit koyak pada bagian kerahnya, tapi masih di simpannya di rumah sederhananya, tepatnya di sebelah selatan sumur itu. "Kalau pas hari jadi Pacitan, biasanya rompi saya pakai, ya untuk menghormati saja," katanya.

Peninggalan tersebut tidak diketahuinya secara pasti, apakah dari Tumenggung Notopuro atau dari leluhurnya terdahulu. Namun, peninggalan tersebut diserahkan secara turun temurun dan hanya keturunan saja yang mampu merawat peninggalan bersejarah itu.

"Cuma turun-temurun, seingat saya mulai Mbah Buyut Ponco Diwiryo, kemudian turun ke kakek saya Citro Diwiryo, kemudian ke Bapak saya Marto Karno dan turun ke saya. Pesan Bapak dulu cuma tinggal di sini suruh banyak-banyak tirakat," papar pria yang kesehariannya sebagai petani.

Meski letak sumur njero berada di tanahnya, ia sangat berharap ke depan bisa dikembangkan sebagai objek wisata religi. Mengingat, sumur tersebut merupakan salah satu bukti sejarah Kabupaten Pacitan yang pertama.

"Saya anak nomor lima dari lima bersaudara, nantinya akan saya turunkan ke anak saya yang sekarang bekerja di Solo. Saya cuma berharap kepada pemerintah daerah ke depan bisa dikembangkan menjadi wisata religi," pungkasnya.

Bagikan

RELATED NEWS