Monumen Tumpak Rinjing dan Misteri Sosok Sahid Yang Sempat Dianggap Gila

AZ - Sabtu, 18 Agustus 2018 15:33 WIB
Misno di depan Monumen Tumpak Rinjing undefined

Halopacitan, Pringkuku— Ada dua ujud patung yang gagah berdiri di puncak monumen yakni Jenderal Besar Sudirman dan Letkol Ignatius Slamet Riyadi. Penelusuran Halopacitan terhadap sejumlah catatan hanya menyebutkan monumen tersebut didirikan untuk mengenang perjuangan pasukan Jenderal Sudirman, khususnya sebuah pertempuran sengit yang terjadi pada 7 Juni 1948. Tetapi bagaimana pertempuran itu terjadi secara rinci sulit sekali untuk didapatkan.

Monumen Tumpak Rinjing dibangun untuk mengenang jasa para pahlawan yang gugur dalam pertempuran di Tumpak Rinjing. Monumen ini dibangun untuk mengenang pertempuran para gerilyawan yang dipimpin langsung oleh Jenderal Sudirman bersama Brigjen Ignatius Slamet Riyadi di Tumpak Rinjing melawan pasukan Konvoi Kolonial Belanda, pertempuran terjadi pada 7 Juni 1948.

“Nonumen ini dipersembahkan dari pejuang-pejuang 45 dengan dibantu rakyat Pacitan kepada generasi penerus untuk mengenang jasa para pahlawan perang kemerdekaan dalam medan laga pertempuran di Tumpak Rinjing tanggal 7 Juni 1948 melawan konvoi kolonial Belanda.”

Keberadaan monumen ini memang tidak lepas dari perjuangan gerila Panglima Besar Jenderal Sudirman. Sejumlah catatan sejarah menunjukkan pemimpin tertinggi TNI tersebut sempat berbulan-bulan bermarkas di Pacitan, tepatnya di Desa Pakis, Kecamatan Nawangan yang kemudian sekarang dikenang dengan Monumen Jenderal Sudirman.

Keberadaan Sudirman di wilayah ini kemudian tercium oleh Belanda yang selanjutnya mengirimkan pasukan untuk memburunya. Beberapa kontak senjata terjadi dan salah satunya adalah pertempuran Tumpak Rinjing.

Bagaimana pertempuran itu terjadi hampir tidak ada catatan rinci. Bahkan saat mencoba melakukan penelusuran ke tokoh masyarakat di wilayah tersebut, justru muncul sosok yang tidak pernah dikenal sebelumnya yang disebut sebagai Sahid.

Misno, (70), warga RT 01 RW 05 Dusun Gesingan, Dadapan yang juga mantan Kepala Desa Dadapan Pringkuku, periode 1982-1993 mengatakan Sahid bukan seorang tentara. Dia menggambarkan sebagai Hansip seperti saat ini. Mungkin yang dia maksud adalah pejuang non militer

Sahid awalnya ditahan oleh tentara Belanda, kemudian ia bisa melarikan diri dari tahanan. Saat ditahan itulah dia justru tahu ada rencana BElanda untuk mengirimkan senjata dan tentara ke Pacitan, dan akan bermarkas di bekas kantor PETA yang sekarang ini menjadi Kodim Pacitan.

"Setelah Sahid lolos dari tahanan Belanda ia lari ke sini Dusun Gesingan Dadapan, yang ditujunya rumah bapak saya Kadeni, seorang Bayan pada waktu itu, dan saat itu saya masih balita," kata Misno.

Sesampainya di Dusun Gesingan Desa Dadapan, Sahid bercerita tentang kejadian yang pernah dialaminya selama ditahan Belanda. Berhubung Sahid bukan orang yang punya pangkat ataupun jabatan dan juga tidak terlihat orang yang berwibawa, masyarakat tidak percaya dengan apa yang dia ceritakan.

Tapi Sahid nekad bahkan merakit senjata api sendiri dan berkata akan bertempur melawan pasukan Belanda. “Apa yang dikatakan dan dilakukan Sahid dianggap nglantur, aneh dan tidak digubris," ujarnya. Masyarakat bahkan terus mengejeknya ketika dia mengajak orang-orang berkumpul untuk melawan pasukan Belanda yang hendak masuk Pacitan.

Tidak mendapat dukungan, dia pun berangkat sendiri. Dia hanya berpesan jika dia mati agar masyarakat mengurus jenazahnya dan dikirimkan ke Yogyakarta dengan menggunakan keranjang dan dikirim secara bertahap dari satu daerah ke daerah lain atau estafet. Dia pun berangkat untuk mengadang pasukan Belanda.

"Waktu truk Belanda datang, mobil pertama hingga tiga yang membawa alat-alat dibiarkan lolos, kemudian mobil keempat yang isinya tentara , sopirnya ditembak, akhirnya mobilnya masuk ke jurang, dan mobil di belakangnya juga ditembak sopirnya, jadi dua truk itu masuk ke jurang," terang Misno.

Tentara Belanda yang sudah sampai di bekas markas PETA menunggu dua truk yang berisi tentara tidak ada datang. Mereka pun kembali untuk mencari dan menelusuri jalan yang dilalui sehingga sampailah di Dadapan mengetahui dua truk terjungkal di Jurang. Saat itulah Sahid tewas diberondong oleh pasukan Belanda.

Setelah peperangan usai dan Belanda juga sudah pergi, masyarakat Gesingan mendatangi dan mengumpulkan sisa jasad Sahid. Masyarakat mulai Percaya dengan Sahid dan pesan terakhirnya harus dijalankan. Jenazah yang tercerai berai kemudian dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam keranjang, lalu dikirimkan ke Yogyakarta secara bergilir, kalau sekarang estafet,

"Jadi dari Gesingan sini dikirim ke Poko, kemudian dari Poko ke Candi, Candi ke Dersono dan seterusnya hingga sampai ke Yogyakarta, tapi saya kurang tahu kalau alamat Yogyakarta-nya dimana cuma suruh kirimkan ke Markas Yogyakarta," papar pria kelahiran 21 Agustus 1948.

Apa yang disampaikan Misno adalah cerita tutur, karena meskipun saat kejadian dia sudah ada, tetapi dia mengaku masih balita saat itu sehingga tentu belum bisa mengingat kejadian secara rinci. Kelemahan cerita tutur adalah potensi terdegradasi atau ditambah-tambahi.

Jika mengacu pada cerita itu sulit diterima akal satu orang bisa mengalahkan dua truk pasukan Belanda. Bisa jadi, kisah Sahid memang ada, tetapi dia menjadi bagian dari pertempuran 7 Juni 1948 yang cukup terkenal tersebut.

"Dulunya di sini, sebelum ada sebutan Tumpak Rinjing, aslinya sebutannya Jirak, tapi dikenal masyarakat luas dan buku-buku yang sudah beredar istilah awal Tumpak Rinjing itu tidak benar, karena tidak pernah menyebut tokoh dan cerita yang sebenarnya dari masyarakat di sini," ungkap Misno,

Misno juga mengklaim, sebutan Tumpak Rinjing berawal karena gagasan ayahnya, Kadeni untuk mengenang Sahid, dari kata Rinjing istilah jawanya yaitu keranjang, Tumpak [naik], bisa diartikan jenazah Sahid yang naik keranjang. ''Dari situlah Kadeni ayah saya mempunyai gagasan untuk mengenang Sahid, sehingga dibuat sebutan Tumpak Rinjing," jelasnya.

Soal nama awal dari Tumpak Rinjing ini jgua diakui Imam Haryono (77). Kepada detikcom dia mengatakan saat itu terjadi kontak fisik di wilayah barat Pacitan. Lokasinya di Desa Dadapan, Kecamatan Pringkuku.

Di jalur penghubung Pacitan dengan Yogyakarta dan Surakarta terebut, sejumlah sukarelawan republik berusaha mengadang pasukan Belanda yang hendak masuk ke Kota Pacitan. Pertempuran pun tak terhindarkan. Sejumlah anggota laskar juga dilaporkan gugur. Namun menurutnya nama Tumpak Rinjing muncul mengacu pada kondisi dusun yang berada di lereng pegunungan kapur dan jalan berkelok-kelok.

Kemudian dibangunlah monumen Tumpak Rinjing ini. "Sebenarnya kalau untuk mengenang ya patungnya Sahid yang didirikan, berhubung Sahid bukan tentara, dan pimpinan perang pada masa penjajahan yaitu Jendral Sudirman, sehingga dibuat patung jendral Sudirman dan pada waktu itu saya masih menjabat sebagai Sekretaris desa sebelum jadi Kades," kata Misno.

Tetapi Halopacitan mencoba menyusuri catatan tertulis memang tidak ada yang menyebutkan nama Sahid. Bisa jadi juga Sahid bukan nama asli tetapi diberikan karena kematiannya dianggap sebagai mati sahid. Bahkan sejarah rinci dari pertempuran 7 Juni 1948 inipun sangat minim. Perjuangan Sudirman di Pacitan lebih banyak dikisahkan ketika dia bermarkas di Pakis.

Satu hal yang pasti benar adalah bahwa pertempuran 7 Juni 1948 di wilayah ini memang benar-benar terjadi. Yang jadi misteri adalah apakah kisah Sahid benar atau tidak, masih butuh waktu dan upaya penggalian dan kajian akademis yang lebih mendalam. (Sigit Dedy Wijaya)

Bagikan

RELATED NEWS