Tirta Wening dan Rucuh Pace, Ketika Pacitan Tak Pernah Melupakan Asal Usul

AZ - Selasa, 19 Februari 2019 15:14 WIB
Prosesi Tirta Wening dan Rucuh Pace Rabu (19/02/2019) undefined

Halopacitan, Pacitan— Untuk peringatan Hari Jadi ke-274 Pacitan tahun 2019 dua prosesi ini dilakukan Rabu (19/02/2019). Suasana adat jawa terasa sangat kental dalam dua upacara tersebut meskipun tidak meningalkan dekorasi modern.

Alunan gamelan terus mengalun di sepanjang upacara dan hampir seluruh peserta yang datang menggunakan pakaian jawa dengan beskap hitam dan jarik sidomukti berwarna coklat dan tidak ketinggalan mengenakan keris.

Prosesi dilakukan di Pendapa Kabupaten, tetapi sebelum itu terjadi rangkaian yang cukup panjang yang dimulai dari Desa Nanggungan dan Desa Sukoharjo.

Ritual 'Tirta Wening' dimulai dengan pengambilan air di sumur njero yang ada di Desa Sukoharjo yang diyakini merupakan peninggalan Tumenggung Notopuro, salah satu tokoh sebelum Pacitan lahir. Pengambilan air tersebut dimulai tepat pukul 24.00 WIB, kemudian setelah mengambil air dan diletakkan pada 'kendhi' atau tempat air dari tanah liat kemudian pagi harinya dibawa dan diiringi oleh puluhan orang sebelum pada akhirnya diberikan kepada Bupati Pacitan di Pendapa.

Dalam waktu yang hampir bersamaan di Desa Nanggungan juga dimulau upacara 'Rucuh Pace'. Masyarakat berkumpul di pendapa peninggalan Tumenggung Setroketipo untuk mengadakan selamatan.

Kemudian, warga mengambil buah pace yang akan diolah menjadi minuman untuk dibawa ke Pendapa Kabupaten yang kemudian juga diserahkan ke Bupati Pacitan dan disajikan kepada tamu undangan serta kepada warga yang datang menyaksikan prosesi ritual. Berdasarkan berbagai sumber, nama Pacitan sendiri diambil dari kata Pace dan Ketan yang berasal dari Desa Nanggungan.

Pacitan juga tidak lepas dari sejarah Mataram dan Kasultanan Ngayogyakarta. Ketika Pangeran Mangkubumi melakukan pemberontakan yang akhirnya dia bisa mendirikan Kasultanan Ngayogyakarta dia sempat beristirahat di wilayah Pacitan. Kemudian Setroketipo (seorang prajurit) memberikan air dari buah pace kepada pangeran Mangkubumi, sehingga kembali sehat dan lebih kuat seperti sedia kala.

Saat Kasultanan Ngayogyakrata berdiri, Setroketipo kemudian diangkat menjadi Tumenggung dan berkedudukan di Desa Nanggungan. Sedangkan Desa Sukoharjo dipimpin oleh Tumenggung Notopuro yang kelak menjadi bupati pertama Pacitan. Hanya akhirnya Pacitan kembali ke wilayah Kasultanan Solo, bukan berada di bawah Kasultanan Ngayogyakarta hingga pengangkatan Notopuro sebagai bupati Pacitan dilakukan oleh Raja Solo.

Bupati Pacitan Indartato mengatakan semua prosesi ini memiliki makna tersendiri, meskipun tidak semeriah pada dua tahun sebelumnya yang ada upacara sepatu kuda dengan barisan prajurit panjang sebagai pengiring.

Hal ini menurutnya masih prihatin dengan kondisi masyarakat Pacitan yang pada 27-28 November 2017 lalu mendapat ujian berupa bencana. Mengingat, apa yang telah diperbuat pemerintah belum bisa memulihkan kerusakan-kerusakan yang dialami oleh masyarakat.

"Kita mengadakan ini bukan sederhananya saja, tetapi maknanya saja, dan juga menghadapi pemilu 2019 kita adakan ini harus berhati-hati, supaya Pacitan tetap adem, ayem, tentrem intinya ke sana," ujar Indartato, seusai ikuti prosesi hajatan di Pendapa Kabupaten Pacitan, Selasa (19/02/2019).

Indartato mengajak peringatan hari jadi kali ini harus disyukuri. Dia berharap dan mengajak semua pihak untuk terus bahu membahu bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Pacitan.

"Ke depan akan kita benahi bersama kekurangan-kekurangan yang ada agar masyarakat Pacitan hidupnya lebih maju dan sejahtera," harapnya

Bagikan

RELATED NEWS