Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan, tujuh perusahaan pelat merah telah mati suri sejak beberapa tahun silam. Hal itu lah yang mendorong Erick Thohir membubarkan tujuh BUMN yang berada di bawah PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) atau PPA.
Selain itu, Menteri BUMN menginginkan adanya perampingan di tubuh BUMN. Karenanya, BUMN yang tidak lagi berkontribusi positif terhadap perekonomian negara bakal dipangkas.
Sebanyak tujuh BUMN diproyeksikan bakal dibubarkan tahun ini. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo baru mengungkapkan empat perusahaan yang bakal dibubarkan pada tahun ini. Apa saja mereka? Berikut ulasannya, seperti dilansir dari Trenasia.com Kamis (6/5/2021).
1. PT Kertas Kraft Aceh (Persero)
Perusahaan yang bermarkas di Nangroe Aceh Darussalam ini bergerak di bidang produksi kertas dan kantong semen.
PT Kertas Kraft Aceh sudah berdiri sejak 21 Februari 1983 berdasarkan Surat Persetujuan Presiden Republik Indonesia No. I/PMA/1983. Pemerintah tercatat memiliki 96,67% sahamnya di perusahaan pelat merah ini.
Namun, PT Kertas Kraft Aceh terus mengalami penurunan kinerja produksi. Puncaknya, PT Kertas Kraft Aceh memutuskan untuk menghentikan produksi pada 31 Desember 2007 akibat tidak mampu lagi memperoleh bahan baku.
Upaya penyelamatan PT Kraft Kertas Aceh sudah dilakukan pemerintah dengan mengalihkan bisnis perusahaan dengan menyuplai listrik ke PT Perusahaan Listrik Negara (persero). Namun upaya tersebut belum bisa menghidupkan kembali kinerja perusahaan untuk memproduksi kertas.
Perusahaan yang pernahmenjadi tempat kerja Presiden Joko Widodo dahulu ini tercatat menyisakan aset sebesar Rp669 miliar pada 2015. Di sisi lain, perusahaan pelat merah ini memiliki total liabilitas hingga dua kali lipat dari total asetnya, yakni sebanyak Rp1,44 triliun.
2. PT Industri Glas (Persero)
Perusahaan pelat merah di bidang produksi gelas ini sudah berdiri sejak 29 Oktober 1956. Kinerja PT Industri Glas sebetulnya pernah moncer karena sempat kebanjiran pesanan dari berbagai perusahaan ternama, salah satunya Coca-Cola.
Selain itu, perusahaan ini menyuplai kebutuhan kemasan gelas untuk perusahaan farmasi, makanan, dan kosmetik dengan total produksi mencapai 340 ton per hari atau 78.205 ton per tahun.
Seiring banyak perusahaan yang mulai beralih kemasan ke plastik, kinerja PT Industri Glas pun semakin menurun. Menteri BUMN Erick Thohir bahkan menyebut perusahaan ini sudah sekarat sejak 2019.
Menurut laporan PPA, PT Industri Glas hanya menyisakan Rp119,87 miliar aset pada 2017 silam. Sementara itu, kewajiban liabilitas perusahaan tercatat sepuluh kali lebih banyak dari aset, yakni mencapai Rp1,09 triliun.
Maka, nilai ekuitas perusahaan pun susut menjadi minus Rp977,46 miliar. Sementara perusahaan hanya mampu menghasilkan pendapatan sebesar Rp824 dalam waktu setahun.
Tidak hanya itu, Direktur Utama PT Industri Glas Daniel Sunarya juga tersangkut kasus korupsi. Daniel terbukti melakukan manipulasi realisasi penjualan perusahaan pada 2006 yang merugikan negara hingga Rp25,53 miliar. Daniel sendiri telah divonis penjara sejak 2011 dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan atau denda Rp250 juta.
3. PT Kertas Leces (Persero)
Sama seperti PT Kertas Kraft Aceh, perusahaan ini juga bergerak dalam bidang produksi kertas. PT Kertas Leces sudah beroperasi sejak tahun 1940 atau lima tahun sebelum kemerdekaan Indonesia.
PT Kertas Leces mencatatkan produksi kertas hingga 10 ton per hari. Pada masa awal pendiriannya, perusahaan tercatat pernah memproduksi 640 ton per hari. Penurunan kinerja perusahaan terjadi sejak adanya krisis finansial Asia pada 1997 hingga 1998.
Kondisi itu diperparah dengan keputusan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) atau PGN yang menghentikan pasokan gas ke PT Kertas Leces. Minimnya pasokan gas dengan harga miring membuat keuangan perusahaan memburuk.
PT Kertas Leces menyatakan berhenti memproduksi kertas pada Mei 2010. Saat itu, perusahaan ini meninggalkan jejak berupa kewajiban utang sebesar Rp41 miliar. PPA kemudian menyatakan PT Kertas Leces pailit pada 25 September 2018.
4. PT Merpati Nusantara Airlines (Persero)
Perusahaan pelat merah bidang penerbangan itu sempat coba diselamatkan pada tahun lalu.
Kementerian BUMN kala itu menunggu adanya investor untuk menyuntikkan dana ke PT Merpati Airlines. Namun, hingga saat ini, tidak ada satu pun perusahaan yang tertarik menanamkan dananya di BUMN ini.
Sejak Juli 2020, PT Merpati Airlines tinggal menyisakan tujuh karyawan saja. Tidak hanya itu, perusahaan ini tercatat tidak lagi memiliki pesawat milik sendiri. Perusahaan ini dilaporkan sudah berhenti beroperasi pada 2013.
Menurut laporan keuangan terakhir perusahaan pada 2015, diketahui nilai ekuitas PT Merpati Airlines membukukan nilai ekuitas sebesar minus Rp8,59 triliun. Adapun liabilitas perusahaan tercatat berada di angka Rp9,92 triliun.
Kinerja keuangan yang babak belur itu memaksa Erick Thohir membubarkan PT Merpati Airlines. Namun, pembubaran PT Merpati Airlines masih terkendala adanya pinjaman dan kreditur yang dimiliki perusahaan.
“Merpati masih perlu ada pengkajian. Ada pinjaman dan kreditur yang harus disiapkan. Salah satu dikaji karena masih ada satu operasi di Jawa Timur,” terang wakil menteri BUMN, Kartika Wiroatmojo dalam sebuah pernyataan beberapa waktu lalu.