JAKARTA — Kasus kekerasan fisik di dunia pendidikan Indonesia kembali mengundang perhatian publik. Seorang guru di salah satu SMP di Bogor diduga melakukan tindakan kekerasan terhadap seorang siswa di dalam kelas. Insiden ini sampai pada pelaporan ke kepolisian oleh orang tua siswa tersebut.
Peristiwa ini kembali memicu diskusi mengenai apakah kekerasan fisik bisa dibenarkan sebagai metode pendisiplinan dalam pendidikan. Kekerasan di dunia pendidikan sebenarnya sudah lama ada dan sering digunakan oleh sejumlah guru sebagai cara untuk mendisiplinkan murid.
Beberapa pihak masih beranggapan bahwa kekerasan fisik adalah cara efektif untuk menanamkan disiplin pada anak. Namun, berbagai studi menunjukkan bahwa kekerasan justru berdampak buruk, baik pada perkembangan mental, emosional, maupun sosial anak.
Menurut Lis Yulianti dalam penelitiannya tentang kekerasan dalam pendidikan tahun 2013, kekerasan di sekolah pada dasarnya adalah sebuah bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap siswa yang lebih lemah.
Menurut Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) dalam bukunya mengenai bullying dan tindak kekerasan di sekolah serta lingkungan, kekerasan di sekolah tidak hanya menyebabkan luka fisik, tetapi juga meninggalkan trauma psikologis pada korban.
"Kekerasan ini bisa menyebabkan korban kehilangan rasa aman dan kepercayaan diri, serta memunculkan perasaan cemas dan takut untuk pergi ke sekolah," ungkap SEJIWA dalam laporan mereka.
Selain itu, kekerasan dalam bentuk apapun di lingkungan pendidikan berpotensi merusak motivasi belajar siswa. Siswa yang pernah menjadi korban kekerasan cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya, kesulitan dalam berkomunikasi, serta memiliki rasa takut yang mendalam terhadap pihak berwenang di sekolah.
Laporan UNICEF pada tahun 2006 menunjukkan sekitar 80% kasus kekerasan pada siswa di Indonesia dilakukan oleh guru. Fenomena ini mengindikasikan bahwa metode kekerasan masih dianggap sebagian guru sebagai pendekatan efektif untuk mengendalikan perilaku siswa.
Namun, para ahli pendidikan telah menekankan bahwa pandangan ini keliru dan perlu diubah. “Pendekatan kekerasan tidak hanya gagal membentuk karakter siswa dengan baik, tetapi juga dapat menyebabkan siswa meniru perilaku agresif yang mereka alami,” tegas Lis Yulianti.
Dampak jangka panjang dari kekerasan ini, menurutnya, bisa membuat anak-anak tumbuh menjadi orang dewasa yang kebal terhadap kekerasan dan cenderung menganggap kekerasan sebagai hal yang wajar dalam menyelesaikan masalah.
Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat pergeseran yang signifikan dalam pandangan dunia mengenai metode disiplin di sekolah. Banyak negara yang telah meninggalkan penggunaan kekerasan fisik dalam pendidikan karena dianggap tidak efektif dan merugikan perkembangan anak.
Metode pembelajaran berbasis karakter, dialog, serta pendekatan positif kini lebih diutamakan untuk membangun kedisiplinan dan nilai-nilai moral dalam diri siswa. Sayangnya, di Indonesia, masih banyak pihak yang memandang kekerasan sebagai bagian dari "budaya disiplin" dalam pendidikan.
Kekerasan, baik fisik maupun verbal, seringkali masih dianggap wajar dalam praktik pengajaran. Padahal, pandangan ini terbukti keliru dan merusak perkembangan siswa secara keseluruhan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Ilyas Maulana Firdaus pada 31 Oct 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 01 Nov 2024