logo
Kapten (Purn) Suyatno
Halo Berita

Bersama Enam Orang, Kapten Yatno Membumihanguskan Stasiun Radio Belanda

  • Usianya sudah hampir satu abad, tetapi ingatannya masih begitu kuat. Meski kerap terbata-bata, semangat jelas belum luntur saat dia berkisah bagaimana perjuangannya membela negeri ini dari cengkeraman penjajah.

Halo Berita
AZ

AZ

Author

Halopacitan, Pacitan—Dia adalah Suyatno, seorang kapten purnawirawan yang menjadi saksi bagaimana beratnya meraih dan mempertahankan kemerdekaan republik ini. Dengan menyabung nyawa dia bergerak dari satu medan tempur ke medan tempur yang lain untuk mengusir pasukan Belanda yang hendak kembali menancapkan kuku penjajahannya.

“Banyak teman-teman saya yang gugur ketika melawan penjajah,” katanya dalam sebuah perbincangan santai dengan Halopacitan Jumat (09/11/2018) di rumah model klasik milinya yang berada di Dusun Desa Banjarsari Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan.

Sejenak Suyatno terdiam. Matanya yang redup karena usia tampak sayu ketika mengingat apa yang terjadi pada teman-teman seperjuangannya.

Masih teringat jelas di benaknya bagaimana dia bersama teman-temannya melewati hari-hari mencekam, menyusup di sela-sela kegelapan malam, ditemani dinginnya udara malam dan suara bising desingan senapan serdadu Belanda. Namun semua itu sama sekali tak menciutkan semangat dan perjuanganya membela negeri yang dia cintai ini.

Laki-laki kelahiran Pacitan 25 September 1926 tersebut mulai bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara pada tahun 1947 di Yogyakarta. Pada saat itu TNI AU masih bernama Prajurit Udara Satu (PU1). “Gaji saya waktu itu Rp55,” kenangnya sambil tersenyum tulus.

Kapten Yatno kemudian melanjutkan kisahnya. Meski sudah merdeka, Indonesia muda saat itu masih belum lepas dari cengkeraman penjajah sepenuhnya. Belanda melakukan agresi militer dengan menguasai sejumlah kota penting di Jawa, termasuk Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Solo.

Sekitar Agustus 1949, Suyatno mendapat perintah untuk bergerak ke Solo guna bergabung dengan rencana serangan umum yang akan digelar 7-10 Agustus 1949 di bawah Komanado Letkol Slamet Riyadi.

Sesampai di Surakarta, dia langsung bergabung dalam berbagai pertempuran di beberapa titik. Hingga pada tanggal 9 Agustus dia mendapat perintah khusus oleh Letkol Slamet Riyadi guna menghancurkan stasiun radio milik Belanda atau Netherlands Indische Radio Omroep (NIROM) di kota tersebut. “Perintahnya adalah menghancurkan stasiun radio tersebut dan membunuh sebanyak-banyaknya pasukan Belanda,” katanya.

Bersama satu pleton beranggotakan enam orang, dia pun bergerak melaksanakan misi tersebut. Melalui sebuah peretmpuran yang cukup sengit, pada tengah malam dia dan pasukannya berhasil membumi hanguskan pasukan Belanda yang berada di wilayah tersebut. “Rasanya bahagia dan bangga bisa menjalankan misi berbahaya dan membantu kemenangan pertempuran tersebut,” katanya.

Pertempuran besar di Surakarta menjadi salah satu bukti kepada dunia internasional bahwa Indonesia masih ada hingga kemudian melalui konferensi Meja Bundar, Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Pada 12 November 1949, Belanda pun menyerahkan Surakarta ke pangkuan ibu pertiwi.

Tetapi bagi Kapten Yatno, perjuangan belum berakhir. Dia terus mengabdi sebagai prajurit TNI dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dia sembilan kali dikirim ke Aceh, sebuah wilayah yang cukup berbahaya pada masa lalu. Selain itu dia juga pernah ditempatkan di Bandung, Medan, Kupang, Malang, dan terakhir di Lapangan Udara Pacitan sebelum kemudian pensiun pada tahun 1978 dengan pangkat terakhir kapten.

Kini 92 tahun sudah usianya. Dia hanya berharap, apa yang diperjuangkan oleh para pendahulu negeri ini dengan darah, keringat dan nyawa tidak sia-sia begitu saja. Negeri ini harus terus tegak berdiri, merah putih harus semakin tinggi berkibar. Indonesia harus menjadi negara besar dan sejahtera. “Teruslah bersemangat menjaga kesatuan Republik Indonesia,” pesannya kepada para generasi muda.