
Demi Sebuah Mimpi Sederhana di Pacitan, Siti Khotijah Harus Berjuang di Hong Kong
Sebagai seorang ibu, Siti Khotijah ingin anak-anaknya bisa merasakan bangku kuliah, tetapi untuk sebuah mimpi yang bagi sebagian orang begitu sederhana itu, perempuan ini dipaksa untuk berjuang jauh di negeri orang, Hong Kong.
Halo Berita
Halopacitan, Pacitan—Sekitar tahun 2011, perempuan warga Dusun Purwodadi Desa Jatimalang Kecamatan Arjosari Siti melangkahkan kaki dengan penuh tekad untuk berangkat ke Hong Kong menjadi seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Meski telah bekerja di sebuah pabrik triplek di Pacitan, bekerja di tanah sendiri seperti tidak memberi harapan banyak bagi Siti untuk bisa mewujudkan mimpi dan keinginannya. “Saya hanya ingin menyekolahkan kedua anak saya hingga universitas,” kata Siti saat berbincang dengan Halopacitan melalui Whatsapp, Selasa (18/08/2018).
Bahkan mimpi ini yang memaksa dia menunda untuk kembali ke tanah air dan memulai usaha baru. Awalnya, 2019 dia akan mudik dan tidak kembali ke Hong Kong, namun karena anaknya sebentar lagi masuk perguruan tinggi hal itu harus ia urungkan.
"Sebentar lagi anak saya yang pertama mau masuk perguruan tinggi dan saya merasa masih perlu persiapan biaya jadi sepertinya tambah kontrak lagi," papar Siti yang saat ini tinggal di kawasan Kowloon Hong Kong tersebut.
Jangan tanya soal dukanya, meski sukanya juga banyak. Bekerja jauh dari tanah kelahiran dan orang-orang yang dicintai tidaklah sembarang orang bisa melakukan kecuali memiliki tekad baja.
"Kalau dari segi pendapatan, jujur saja memang lebih besar, maaf bukan sombong tetapi realitanya memang seperti itu. Dukanya sudah jelas jawabannya jauh dari keluarga dan harus berjauhan dengan anak-anak," kata ibu dua anak.
Di Hong Kong dia bekerja sebagai asisten rumah tangga. Beruntung, dia ikut orang yang baik hati hingga membuatnya betah. Dia mengakui, banyak teman-teman seprofesinya dari Indonesia yang tidak seberuntung dia.
"Kalau kita sebagai asisten rumah tangga, dalam satu rumah kita makan sama-sama satu meja, bukan harus makan di belakang atau duduk di lantai dan majikan duduk di sofa. Intinya lebih dihargai, itu pengalaman pribadi saya, tapi ada beberapa yang masih merasakan diskriminasi, karena pribadi orang pasti beda. Alhamdulillah majikan saya kedua-duanya sangat sopan dan sangat menghargai sesama manusia," ungkapnya.
Dua tahun sekali ia kembali ke Indonesia, selain karena kontrak kerja selesai hal itu dimanfaatkannya untuk melepas rindu dengan keluarga sebelum memperpanjang kontrak dan kembali ke Hong Kong. "Tapi itu tergantung masing-masing ya, ada yang empat tahun sekali baru pulang kampung, kalau saya dua tahun sekali mudik," katanya
Untuk mengobati kerinduan pada Pacitan, dia juga bergabung dengan kelompok perantau asal daerah ini dalam wadah ARPAC. Sekitar 500 orang Pacitan yang ada di Hong Kong yang secara rutin melakukan pertemuan.
Siti Khotijah (tiga kanan) bersama warga Pacitan di Hong Kong (Istimewa/dok pribadi)
Perempuan kelahiran Pacitan, 8 Juni 1975 ini mengatakan, suasana kerja di Hong Kong tentu sangat berbeda dengan di Indonesia, ia pun harus beradaptasi dengan lingkungan dan bahasa yang berbeda. Siti menceritakan, sebelum ke sana, ia kursus bahasa dulu selama hampir empat bulan.
"Hanya bahasa sehari-hari saja kursusnya. Sampai di Hong Kong kita pelan-pelan belajar bahasa yang lebih detail lagi. Karena setiap hari diucapkan jadi kita bisa cepat memahami," ujar Siti.
Proses yang dilaluinya untuk sampai di Hong Kong tidak mudah, selain kursus bahasa, ia pun harus dipotong gaji oleh PJTKI selama tujuh bulan di tahun pertama ia di Hong Kong. Perbulan $HD3.000 (dollar Hong Kong), tetapi, kalau sekarang hanya potongan enam bulan berkisar $HD1.750.
"Setelah potongan di tahun pertama, semua urusan dengan PJTKI selesai, dan tidak membayar lagi, sedangkan untuk memperpanjang kontrak berikutnya pihak agency yang berada di Hong Kong yang memprosesnya. Tapi ada juga PJTKI yang menerapkan potong gaji empat bulan, perbulannya $HK3.200 jadi, beda PJTKI beda aturan," jelasnya.
Dia menyebut, untuk gaji normal yang ditetapkan Pemerintah Hong Kong $HD4410, terkadang jika ada yang lembur atau jaga anak lebih dari satu biasanya majikan akan menambah gaji mereka. "Gaji minimum dengan kurs saat ini sekitar Rp8,3 juta, kalau tahun 2011 dulu, kurs masih sekitar $1HD atau Rp1.200," papar Siti
Lebih lanjut Siti menjelaskan, selama kursus bahasa saat berada di penampungan dan sebelum diberangkatkan ke negara tujuan, dimanfaatkannya untuk belajar memasak dan bagaimana membersihkan ruangan menggunakan alat-alat kerja. Yang tentunya lain dengan di kampung halaman yang cuma memakai sapu dan lap saja,
"Kursus bahasa tidak usah membayar karena potongan kerja selama tujuh bulan. Kalau sekarang lebih sedikit ada yang empat sampai lima bulan potongan. Jadi semua kegiatan pembayaranya masuk dalam potongan gaji kita di awal kita kerja," jelas Ibu dua anak ini.
Meski gaji besar, Siti tetap tidak akan terus bekerja di luar negeri, suatu saat dia ingin kembali ke kampung halaman dan membuka usaha sendiri, berkumpul denga keluarga dan menghabiskan waktu dengan keluarga dan sanak famili.
"Setelah tidak kerja di Hong Kong lagi saya berniat membuka usaha di rumah, anak-anak saya juga nanti sudah besar dan bisa diajak bekerjasama biar belajar sambil bekerja," imbuh wanita yang berstatus single parent tersebut.
Siti, hanyalah satu dari ribuan atau bahkan jutaan orang negeri kaya raya ini yang harus berjuang untuk mimpi sederhananya justru jauh di seberang lautan, di negeri orang. (Sigit Dedy Wijaya).