ilustrasi
Halo Berita

Gempa Banten Belum Mencapai Puncak, Masih Ada ‘Raksasa’ Tidur di Selat Sunda

  • Gempa yang menguncang Banten Jumat (02/08/2019) dinilai belum menunjukkan kekuatan yang sebenarnya. Masih ada ‘raksasa’ tidur yang harus terus diwaspadai karena tidak tahu kapan akan benar-benar terbangun.

Halo Berita
AZ

AZ

Author

Halopacitan, Jakarta--Gempa yang menguncang Banten Jumat (02/08/2019) dinilai belum menunjukkan kekuatan yang sebenarnya. Masih ada ‘raksasa’ tidur yang harus terus diwaspadai karena tidak tahu kapan akan benar-benar terbangun.

BMKG awalnya merilis gempa itu terjadi pada pukul 19:03:21 WIB, dengan pusatnya pada koordinat 104,58 derajat BT dan 7,54 derajat LS, dengan magnitudo 7.4 pada kedalaman 10 km, berjarak 137 km barat daya Sumur, Banten.

Sekitar pukul 21.35 WIB, BMKG mencabut status peringatan tsunami dan memutakhirkan data terakhir gempa bumi dengan magnitudo 7,4 menjadi magnitudo 6,9 atau setelah peringatan tsunami dicabut.

Setelah dimutakhirkan data gempa bumi itu pukul 19:03:21 WIB, dengan pusatnya terletak pada koordinat 104,75 derajat BT dan 7,32 derajat LS pada kedalaman 48 km, berjarak 164 km arah barat daya Kota Pandeglang, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.

Episentrum gempa berada di wilayah Samudra Hindia di sebelah selatan Selat Sunda. Lokasi episenter dan kedalaman hiposenter gempa bumi yang terjadi, merupakan jenis gempa bumi dangkal akibat deformasi batuan di dalam Lempeng Indo-Australia.

Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan gempa bumi terjadi dengan mekanisme pergerakan naik atau patahan akibat dari patahan naik di dalam Lempeng Indo-Australia tersebut.

Hasil akhir BMKG tidak berbeda dengan siaran pers Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menyebutkan gempa bumi disebabkan aktivitas penunjaman Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia.

PVMBG mengutip Informasi dari Unites States Geological Survey (USGS) yang mencatat gempa bumi pada koordinat 104,806 derajat BT dan 7,29 derajat LS dengan magnitudo 6,8 pada kedalaman 42,8 km.

Belum Mencapai Puncak

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengungkapkan gempa belum merupakan puncak dari potensi gempa di wilayah tersebut.

Pusat gempa di bagian selatan Selat Sunda itu merupakan kawasan yang ditandai sebagai zona sepi gempa besar, sementara itu merupakan kawasan dengan subduksi aktif.

Daryono mengatakan ketidakadaan gempa selama ini dianggap sebagai proses akumulasi dari medan tegakan kerak bumi yang sedang berlangsung “Di daerah Selat Sunda, catatan kami tidak ada gempa di atas magnitudo 7,0,” katanya.

Menurut catatan BMKG, pernah terjadi di bagian selatan Banten gempa bumi dengan magnitudo 7,9 pada 1903, yang merupakan gempa terakhir.

Dia tidak dapat memperkirakan secara statistik proses berulang gempa bumi itu, karena proses akumulasi medan tegakan kulit bumi tidak bisa distatistikkan.

Daryono menyatakan sebuah kawasan subduksi aktif tetapi tidak pernah terjadi gempa, dapat diduga kawasan itu sedang terjadi proses akumulasi medan tegangan, di mana ada proses penumpukan energi yang terkandung dalam kulit bumi.

“Kalau melihat hasil hitungan potensi gempa, ini belum puncaknya, karena potensi maksimal dapat mencapai magnitudo 8,7. Potensi itu tidak bisa diperkirakan dan kapan saja bisa terjadi,” jelas dia sebagaimana dilaporkan Antara.

Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto mengatakan umumnya gempa sekitar magnitudo 7,4 memiliki waktu perulangan 30-50 tahun.

Dia mengatakan tidak ada data detail dan pasti, terkait sejarah atau siklus gempa yang terjadi di lokasi yang hampir sama dengan yang terjadi Jumat (02/07/2018) malam yang berpusat di Banten.  Padahal, jika ada pencatatan sejarah maka dapat diketahui perilaku gempanya.

Di selatan Jawa, berdasarkan catatan sejarah, pernah terjadi gempa yang lebih besar dari magnitudo 7,4, bahkan mendekati skala 9. “Sudah dapat dipastikan akan terjadi lagi meski tidak tahu waktunya kapan,” ujarnya.

Eko menjelaskan penelitian di selatan Jawa menemukan bukti tsunami raksasa dengan artian ada gempa raksasa yang juga pernah terjadi. Penemuan LIPI yang disesuaikan dengan data sejarah, kejadian itu sekitar 400 tahun lalu yang diduga sekitar 1584 atau 1586.

Gempa bumi merupakan siklus pengumpulan energi dan kemudian dilepaskan dan selalu berulang. Semakin besar energi yang dilepaskan, maka semakin besar lama waktu yang diperlukan untuk mengulang kembali.

Eko menuturkan perlunya pendataan dan penelitian komprehensif sejarah kegempaan dan tsunami yang lebih detail di seluruh wilayah Indonesia, baik darat maupun lautan, untuk mengetahui perilaku gempa.

Pelaporan gempa di Indonesia baru dimulai ketika alat seismometer ada di Tanah Air, yakni sekitar 1850-an akan tetapi belum masif saat itu.