Ilustrasi: Digital Civility
Halo Berita

Harus Terus Berbenah! Tingkat Kesantunan Digital (Digital Civility) Masyarakat Indonesia Rendah

  • Hasil survei dari Microsoft di Asia Pasifik yang secara ringkas mengatakan bahwa tingkat kesantunan digital (digital civility) dari masyarakat Indonesia paling rendah se-Asia Tenggara. Salah satu disrupsi digital yang kurang mendapat penanganan serius adalah kesantunan dan karakter

Halo Berita
SP

SP

Author

Hasil survei dari Microsoft di Asia Pasifik yang secara ringkas mengatakan bahwa tingkat kesantunan digital (digital civility) dari masyarakat Indonesia paling rendah se-Asia Tenggara. Salah satu disrupsi digital yang kurang mendapat penanganan serius adalah kesantunan dan karakter

 

“Isu kesantunan dan karakter ini saya kira juga bagian dari disrupsi digital, bahkan bisa menjadi sangat permanen dan fundamental sehingga sangat penting menjadi bagian dari program pendidikan kita,” ungkap Totok Suprayitno, Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukaan (Balitbangbuk) saat memberikan sambutan secara daring pada acara Webinar Diskusi Kebijakan Tematik “Krisis Kesantunan dan Pemanfaatan Media Digital pada Pelajar dan Mahasiswa” pada Rabu (31/3), yang diselenggarakan  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak),


Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa sebagaimana kita ketahui elemen inti (the core of element) dari pendidikan adalah karakter. Lebih lanjut, ia merujuk pada kutipan yang mengatakan education without character is not education at all.

 

“Kemudian, kalau elemen inti dari pendidikan itu disruptif, kemudian kita menganggap bahwa seolah-olah itu tidak ada, itu saya kira sebuah kesalahan besar,” imbuhnya, seperti dilansir dari keterangan pers tertulis kemendikbud Jumat (2/4/2021).


Menurutnya, perubahan sistem nilai dalam hal kesopanan, baik atau tidak baik, semestinya ada pijakan yang lebih jelas. Hal itu mengingat Indonesia sarat keragaman budaya.

“Boleh Anda mengglobal, bergaul dengan siapa pun, tetapi pijakan niai-nilai ke-Indonesiaan-nya jangan dilupakan, jangan terbawa arus apalagi yang negatif,” tutur Totok.


Plt Kepala Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbangbuk, Kemendikbud, Irsyad Zamjani mengatakan bahwa salah satu hal yang mendorong diskusi ini adalah hasil survei yang  dilakukan oleh Microsoft di Asia Pasifik yang secara ringkas mengatakan bahwa tingkat kesantunan digital (digital civility) dari masyarakat Indonesia paling rendah se-Asia Tenggara.


“Hasil survei dari Microsoft salah satunya menunjukkan bahwa tingkat kesantunan kita dalam konteks digital itu kurang menggembirakan, tentu saja ini sangat debatable karena di media massa dan media sosial itu cukup mengundang pro dan kontra terhadap hasil dari survei Microsoft ini, tetapi kita dapat mengambil sebagai bahan masukan, terutama untuk memperkuat pendidikan karakter dalam konteks kebijakan di Kemendikbud,” ujarnya.

 
Irsyad pun menambahkan bahwa media sosial telah menjadi bagian dari kegiatan sehari-hari, terutama bagi pelajar dan mahasiswa. Untuk itu, kesantunan dalam memanfaatkan media digital, khususnya media sosial perlu ditekankan dalam pendidikan karakter, terutama di zaman digital saat ini.

Pada kesempatan yang sama, Education Lead Microsoft Indonesia, Benny Kusuma mengatakan bahwa ada empat hal yang dianjurkan dalam pemanfaatan media digital. Hal inilah yang  menjadi tantangan dari Microsoft dan ditanyakan kepada para responden survei Digital Civility Index Microsoft 2020.

 

Di antaranya adalah penerapan aturan untuk saling menghargai dan menghormati orang lain sebelum merespons; menghormati adanya perbedaan; sebelum menjawab atau merespons, berhenti sejenak, di Indonesia populer dengan istilah tabayyun; serta bagaimana kita membela diri kita sendiri dan orang lain saat kita melihat ada seorang atau pihak yang dilakukan secara tidak adil dan tidak benar.


Benny menambahkan bahwa survei tersebut dibagi menjadi dua kategori. Pertama, dewasa yang berumur 18—74 tahun. Kedua, remaja yang berumur 13—17 tahun.

 

Selanjutnya, terdapat empat pertanyaan yang ditambahkan pada survei yang dilakukannya. Pertama, nilai secara keseluruhan dari kesantunan digital yang dialami oleh responden. Kedua, apakah ada perundungan, kata-kata kasar yang diterima secara daring, baik lingkup ruang kerja atau di luar lingkup ruang kerja dan anak-anak di lingkup sekolah dan luar sekolah.


Ketiga, organisasi mana yang menurut mereka memberikan kontribusi terhadap perbaikan tingkat kesantunan secara daring. Keempat dampak dari Covid-19 terhadap tingkat kesantunan tersebut.


Benny Kusuma mengungkapkan hasil yang menggembirakan di mana remaja yang berusia 13—17 tahun memiliki tingkat kesantunan yang cenderung lebih tinggi dibandingkan segmen usia lainnya. Para remaja dinilai berani menerapkan empat anjuran dalam pemanfaatan media sosial.

“Karena anak-anak itu lebih bisa menghargai privasi orang lain, membela diri ketika diserang secara daring, berhenti sebelum merespons untuk memikirkan benar tidaknya, dan menghargai perbedaan pendapat,” ungkap Benny Kusuma.


Sementara itu, pembicara lain yakni Dosen Fakultas Psikologi UI, Laras Sekarasih mendefinisikan literasi media secara umum yakni kemampuan seseorang dalam mengakses, memahami, mengevaluasi, dan memproduksi media termasuk meningkatkan manfaat dan meminimalkan risiko dalam menggunakan media.


Mencermati perkembangan zaman, Laras menekankan pentingnya kemampuan individu dalam mengevaluasi pesan dan konten yang terdapat atau tersebar di media, melindungi privasi dan identitas diri serta kecerdasan dalam mengunggah dan berkomentar.


“Kalau kita bicara peran orang dewasa, ada keluarga dan sekolah yang berperan dalam kesantunan menggunakan media digital. Bagaimana caranya, pertama membuat kesepakatan dan kedua cegah penyebaran rumor dengan melakukan cek dan cek ulang sebelum menyebarkan. Hal ini dilanjutkan dengan memberikan koreksi dengan memberikan fakta,” terang Laras.


Senada dengan hal itu, Peneliti Puslitjak, Balitbangbuk, Kemendikbud, Ferdi Widiputera menjelaskan bahwa dalam menghadapi era disrupsi, kita harus mempersiapkan berbagai cara untuk bergerak dan berhasil dengan mengoptimalkan penggunaan dan pemanfaatan media digital ini dengan bijaksana.


“Peran dari orang tua dan guru harus saling melengkapi dan bersamaan dalam memberikan pemahaman dan pengawasan kepada anak dalam hal penggunaan media TIK. Kemudian, harus ada pelatihan dan pendampingan terhadap pemahaman tentang media TIK sendiri, tidak hanya ke murid, tetapi kepada orang tua dan guru pun perlu dilakukan,” pesan Ferdi Widiputera.