Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) Sudarto (kedua kanan) bersama pengurus dan anghita usai menyampaikan pernyataan sikap menolak kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) di Jakarta, Kamis, 2 September 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Halo Berita

Kemenko Perekonomian: Revisi PP 109/2012 Merugikan Negara dan Mengganggu Iklim Usaha

  • Rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan masih menjadi polemik hingga kini.
Halo Berita
Redaksi

Redaksi

Author

JAKARTA - Rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat  Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan masih menjadi polemik hingga kini. Plt. Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menilai revisi PP 109/2012 akan mengganggu iklim usaha industri hasil tembakau (IHT) sehingga sisi penerimaan negara berpotensi mengalami kerugian.

“Dengan adanya revisi PP 109/2012, pengawasan terhadap industri hasil tembakau akan semakin diperketat sehingga ruang gerak IHT pun menjadi terbatas. Situasi ini dikhawatirkan akan membuat IHT mengalami kontraksi yang cukup dalam dan diiringi penurunan kinerja. Padahal, industri hasil tembakau saat ini masih dalam proses pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19,” ujar Susiwijono kepada wartawan.

Susiwijono juga mengatakan, revisi PP 109/2012 akan meningkatkan peredaran rokok ilegal yang justru tidak sesuai dengan tujuan kesehatan yaitu menurunkan prevalensi perokok anak. Revisi ini juga akan mengancam keberlangsungan IHT legal dan memberikan peluang bagi produsen rokok ilegal untuk bertumbuh.

Menurut Susiwijono, PP 109/2012 yang berlaku saat ini telah mengatur IHT secara komprehensif dengan mempertimbangkan keseimbangan dari berbagai aspek seperti kesehatan, penerimaan negara, keberlanjutan usaha hulu-hilir, serta penyerapan tenaga kerja.

“Pengawasan atas implementasi PP 109/2012 di lapangan pada saat ini belum optimal sehingga aspek yang perlu menjadi perhatian adalah implementasi di lapangan,” katanya.

Ia menambahkan, usulan revisi PP 109/2012 masih memerlukan pembahasan lebih lanjut dengan kementerian dan lembaga terkait, terutama dalam hal mitigasi terhadap pihak-pihak yang terdampak. Kemenko Perekonomian sendiri, lanjut Susiwijono, sedang dalam tahap koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait guna menyusun mitigasi dan penataan untuk petani, pengusaha, bahkan konsumen.

Nantinya, jelas Susiwijono, mitigasi ini pun akan menjadi bagian dari Peta Jalan (roadmap) Pengelolaan Produk Hasil Tembakau yang sedang disusun oleh Kemenko Perekonomian. Ruang lingkup dari Peta Jalan ini mencakup pengaturan Pengembangan Sektor Pertanian Tembakau, Pengaturan Sektor Industri Hasil Tembakau, Pengendalian Konsumsi Produk Tembakau dan Optimalisasi Penerimaan Cukai.

“Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau secara prinsip arah dan kebijakannya sudah sesuai dengan PP 109/2012 dengan mempertimbangkan perlindungan kesehatan masyarakat dari bahaya merokok dan menurunkan tingkat prevalensi perokok penduduk usia 10 sampai dengan 18 tahun,” tegasnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan meminta pemerintah untuk melindungi keberlangsungan industri hasil tembakau dengan tidak merevisi PP 109/2012. Pasalnya, revisi PP 109/2012 akan memberatkan IHT yang telah berkontribusi nyata bagi penerimaan negara dan serapan tenaga kerja.

“GAPPRI dengan tegas menolak perubahan PP 109/2012. Pasalnya, kami melihat PP 109/2012 yang ada saat ini masih relevan untuk diterapkan,” ujar Henry Najoan.

Henry juga menyoroti usulan perubahan PP 109/2012 juga cenderung restriktif karena ketentuan yang diusulkan berbentuk pelarangan. Menurut Henry, peraturan yang mengacu pada ketentuan perundang-undangan seharusnya menitikberatkan pada pengendalian dan bukan pelarangan. Ia menegaskan bahwa rokok adalah produk legal sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi sehingga memiliki hak yang sama dengan produk legal lainnya.