Demam akan serial drama korea (drakor) sedang melanda terutama remaja perempuan. Ini adalah salah satu Hallyu atau Korean Wave yaitu budaya pop Korea Selatan yang menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Melihat fenomena tersebut, Pakar Kajian Sinema Universitas Airlangga (UNAIR) Igak Satrya Wibawa S.Sos., MCA., Ph.D menyebut bahwa hal itu dikarenakan adanya demam Korean Wave yang sedang menjamur di Indonesia. Hal itu menjadi gelombang budaya di seluruh dunia yang biasa disebut dengan Korean Culture Invasion (Perluasan Budaya Korea, red).
“Saya mengambil asumsi dari awal, ada beberapa kemungkinan faktor penyebabnya, yang utama tentu saja karena adanya demam Korean Wave. Ini menjadi kecenderungan bahwa tren adalah salah satu faktor penting.” jelas Igak seperti dilansir dari unair.ac.id Rabu(5/5/2021)
Menurutnya, remaja bergender perempuan menduduki rating tertinggi sebagai penikmat drama korea, itu disebabkan karena drakor utamanya ditujukan kepada penonton perempuan. Drama korea mengarah kepada ikatan emosional yang secara stereotipe lebih dimiliki oleh perempuan.
“Tidak hanya drama korea sebenarnya, tetapi konsep drama sejak dulu memang diarahkan pada audience perempuan. Drama dibuat untuk mereka yang menyukai sentuhan-sentuhan psikologis emosional, dan itu lebih besar ada pada perempuan,” ujarnya.
Selain itu, para produser drakor juga melengkapi karya drama dengan sajian fisik yang mempesona dan menampilkan alur cerita yang dramatis.
“Semua drama pasti menjual narasi-narasi emosional dan fisik rupawan, itu standar dari drama, cuma masalahnya mereka sedang dalam puncak popularitas,” imbuhnya.
Lebih lanjut ia mengatakan pada era milenial seperti ini, tentu layanan digital menjadi pilihan utama yang banyak digunakan oleh remaja. Sehingga, strategi penetrasi pasar drama Korea memilih menjual pada platform digital seperti media streaming berbayar, aplikasi mobile, dan masih banyak lagi yang lebih digandrungi oleh kawula muda.
“Sinetron tanah air hanya dimunculkan melalui tayangan televisi, sementara televisi bukan lagi menjadi pilihan media generasi sekarang, itu voit yang di isi oleh drama Korea. Mereka muncul melalui media internet, streaming berbayar, aplikasi mobile, youtube dan lain-lain, yang itu jauh lebih efektif penetrasi pasarnya ketimbang melalui televisi,” jelasnya.
Alumni Curtin University Program Master dan Doktoral ini menjelaskan Drama Korea menyajikan cerita yang berbeda dengan cerita dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat kreativitas para kreator dan mereka berkarya dengan bebas dan kreatif.
“Mencari tau sesuatu yang diluar apa yang kita alami sehari-hari mungkin akan lebih menarik. Sehingga, itu mungkin faktor penyebab mereka menyukai drama korea, ada hal-hal yang tidak mereka temukan didalam kehidupan sehari-hari, tapi mereka temukan dalam drama korea,” ujarnya.
Ia menandaskan hal yang perlu diperhatikan adalah menjaga kualitas dengan menampilkan cerita yang berbeda. Mengusik pemenang pasar saat ini akan jauh lebih sulit, berpindah ke media internet seperti drama korea pun tidaklah cukup, tetapi perlu banyak strategi yang lain karena Korean Wave datang pada semua lini, seperti musik, film, kuliner, busana dan lain-lain.
“Prinsip dasar dunia kreatif adalah kalau kamu tidak bisa menjadi yang terbaik, jadilah yang pertama, karena menjadi yang pertama otomatis menjadi yang terbaik. Tetapi kalau kamu tidak bisa menjadi yang terbaik dan pertama, jadilah yang berbeda, karena dengan menjadi yang berbeda, kamu akan menjadi yang pertama dan bisa jadi yang terbaik,” pungkasnya.