Masker bakal terus jadi kebutuhan meski Vaksin COVID-19 telah ditemukan sejumlah negara. Vaksin yang telah ditemukan memang terbukti cukup baik dalam mencegah seseoarang dari penularan COVID-19. Namun rupanya, vaksin-vaksin ini masih belum terbukti ampuh untuk mengekang penyebaran virusnya.
Vaksin Pfizer dan Moderna misalnya, terbukti mampu mencegah orang dari penularan COVID-19. Tetapi belum teruji apakah orang yang sudah tervaksinisasi tersebut tidak lagi menyeberkan virus. Pasalnya, orang yang telah divaksinisasi sekalipun tetap bisa terinfeksi virus corona. Hanya saja mereka akan terinfeksi tanpa menunjukkan gejala alias orang tanpa gejala (OTG).
Mereka bisa saja menyebarkan virus corona kepada orang-orang di sekitarnya karena biasanya mereka sehat-sehat saja atau dalam keadaan sehat. Pertanyaannya, jika Pfizer dan Moderna yang sudah lolos uji klinis tahap tiga saja seperti itu. bagaimana dengan vaksin Sinovac Indonesia yang belum lolos uji tahap tiga?
Jawabannya mungkin bisa serupa. Sebab itu, ahli imunologi dari Universitas Stanford, Inggris, Michal Tan pun mengingatkan bahwa menggunakan masker tetap menjadi keharusan meskipun manusia sudah divaksinisasi. Jadi, sambung dia, anggapan bahwa vaksin membebaskan orang dari menggunakan masker itu salah besar.
“Ini sangat penting untuk mereka (orang-orang yang sudah divaksinisasi) tetap menggunakan masker karena mereka masih bisa menularkan (COVID-19),” ungkap Michal dinukil New York Times, Rabu, 9 November 2020, seperti dilansir dari TrenAsia.com.
Perlu diketahui bahwa apapun virusnya, termasuk COVID-19, bakal menular melalui hidung. Virus berkembang dalam hidung dan merusak sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi mulkosa. Antibodi ini merupakan jaringan lembab yang melapisi hidung, mulut, paru-paru dan perut. Antibodi inilah yang nantinya bakal membangun kekebalan tubuh bagi mereka yang sudah pernah tertular virus.
“Sel kekebalan yang mengingat virus tersebut dengan cepat mematikan virus di hidung sebelum dapat kesempatan untuk bertahan di tempat lain di tubuh,” beber Michal.
Sebaliknya, vaksin virus corona bekerja dengan cara yang bertolak belakang dengan proses pembuatan antibodi pada orang yang sudah pernah tertular virus. Vaksin, kata Michal, disuntikkan jauh ke dalam otot dan dengan cepat diserap oleh darah.
Di sana, mereka mulai merangsang sistem kekebalan tubuh manusia untuk memproduksi antibodi. Proses ini mampu mencegah orang yang telah divaksinisasi agar tidak jatuh sakit kendatipun mereka sudah tertular COVID-19.
Beberapa dari antibodi itu akan bersikulasi ke mukosa hidung dan ‘berjaga-jaga di sana’. Sayangnya, tidak jelas berapa banyak kumpulan atau seberapa cepat antibodi itu bisa dimobilisasi ke hidung.
Jika jawabannya tidak, maka virus bisa bermunculan lagi di hidung. Apabila itu terjadi, setiap kali manusia yang sudah tervaksinisasi menghembuskan napas atau bersin, mereka bisa saja tetap menularkan virus kepada orang lain.
Ahli imunologi dari University of Washington, Marion Pepper mengungkapkan, ini sama saja seperti perlombaan siapa yang menang. Jika antibodi dapat mengendalikan virus itu dengan cepat, maka orang yang sudah divaksinisasi tidak akan menularkan. Sebaliknya, jika virus bergerak lebih cepat, maka orang itu tetap bisa menularkan.
“Tergantung apakah virus dapat bereplikasi lebih cepat atau sistem kekebalan dapat mengendalikannya lebih cepat,” kata Marion Pepper.