JAKARTA – Negara Indonesia disebut sedang mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut secara bulanan (month to month/mtm) antara Mei-September 2024. Kondisi ini diketahui mirip dengan yang terjadi pada tahun 1998/1999, ketika deflasi juga berlangsung secara berturut-turut.
Data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2024 tercatat sebesar 5,05%, masih jauh dari resesi. Istilah yang secara teknis berarti pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Pertumbuhan ekonomi sejauh ini memang menunjukkan tanda-tanda pelambatan. Laju pertumbuhan pada kuartal kedua lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya, yang mencapai 5,11%.
Indonesia terakhir kali mengalami resesi saat pandemi Covid-19, yang terlihat dari angka PDB negatif selama empat kuartal berturut-turut mulai dari kuartal II-2020 hingga kuartal I-2021.
Perekonomian domestik mungkin masih jauh dari kategori resesi seperti yang terjadi pada tahun 1998. Namun, gejala kelesuan semakin terlihat jelas dari berbagai data ekonomi yang telah dipublikasikan sejauh ini.
Dilansir dari Antara, Indonesia saat ini beradadalam kondisi ekonomi yang penuh tantangan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, tingkat deflasi pada September 2024 mencapai 0,12%, yang merupakan level terendah dalam lima tahun terakhir.
Penurunan harga ini bukan disebabkan oleh peningkatan daya beli, melainkan akibat lemahnya permintaan masyarakat, khususnya di kalangan kelas menengah ke bawah.
Banyak orang terpaksa mengandalkan tabungan untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti yang ditunjukkan oleh data dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada Agustus 2024, yang mencatat pertumbuhan simpanan di bawah Rp100 juta hanya sebesar 0,8% secara year-to-date.
Situasi ekonomi yang sulit ini semakin diperburuk oleh tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), yang telah mencapai lebih dari 53.000 pekerja hingga Oktober 2024. Kehilangan pekerjaan ini semakin menurunkan daya beli dan memperburuk kondisi konsumsi masyarakat yang sudah lesu.
Dengan menurunnya daya beli, masyarakat bahkan kesulitan untuk mendapatkan bahan pokok yang harganya lebih terjangkau. Bahkan, kelas menengah kehilangan kekuatan konsumsinya dan jatuh ke bawah ke dalam kelas ekonomi yang lebih rendah.
Namun, yang mencuri perhatian adalah dalam perekonomian Indonesia yang tidak baik-baik saja, tiket konser musik baik artis dalam negeri maupun luar negeri yang berharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah tetap diminati oleh masyarakat.
Selain itu, fenomena demam Labubu juga menarik minat masyarakat, terbukti dengan antrean panjang para pemburu boneka viral ini meskipun harganya mencapai jutaan rupiah.
Hal itu seolah menjadi sebuah anomali di tengah banyaknya keluhan para pelaku UMKM yang mengungkapkan dagangannya sepi, serta soal pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan pekerja yang terus bermunculan.
Yang menjadi pertanyaan, jika ekonomi memang lesu, mengapa konser musik dengan harga yang tentu saja tidak murah itu habis terjual? Konser musik dipenuhi pengunjung, antrean membeli Labubu yang panjang di mal kelas atas. Apakah benar hanya pergeseran fokus belanja masyarakat ke barang tersier?
Anomali yang terjadi di Indonesia saat ini mungkin dapat dijelaskan dengan istilah lipstick effect, teori yang menyatakan bahwa kondisi ekonomi sulit, masyarakat cenderung membeli barang-barang mewah yang terjangkau demi mencari kepuasan sementara, seperti kosmetik. Konsep ini pertama kali diperkenalkan Juliet Schor dalam bukunya, The Overspent American (1998).
Adapun, Mailchimp mendefinisikan lipstick effect sebagai teori ritel di mana konsumen dengan keterbatasan finansial cenderung membeli barang-barang mewah yang lebih terjangkau saat ekonomi menurun.
Schor dalam bukunya mengamati, ketika kondisi peredaran uang terbatas, seseorang cenderung membelanjakan uangnya untuk barang-barang yang tidak terlalu penting, namun mampu memberikan kepuasan di tengah situasi ketidakpuasan.
Istilah lipstick effect merujuk pada kecenderungan individu untuk mengeluarkan uang pada produk-produk kecil dan terjangkau saat menghadapi situasi sulit. Konsep ini menekankan perubahan perilaku konsumen yang lebih memilih produk yang dapat memberikan kepuasan emosional.
Siklus ekonomi yang fluktuatif, seperti pada saat inflasi, deflasi, atau resesi, dapat memperkuat lipstick effect. Fenomena ini menunjukkan bagaimana manusia beradaptasi dengan kondisi yang ada, mencari cara untuk memberikan kebahagiaan pada diri sendiri di tengah tantangan finansial.
Dilansir dari Forbes, Leonard Lauder, mantan CEO Estée Lauder, yang mengamati adanya peningkatan penjualan lipstik selama masa resesi. Fenomena ini terjadi karena meskipun banyak konsumen mengurangi pengeluaran untuk barang-barang mewah, mereka tetap mencari cara untuk memberikan kebahagiaan pada diri sendiri.
Estée Lauder merancang anggaran bisnis dan pemasaran ketika serangan teroris pada 11 September menciptakan ketidakpastian ekonomi. Pada masa itu, penjualan lipstik Estée Lauder justru mengalami peningkatan.
Lalu, ketika resesi melanda ekonomi global akibat pandemi Covid-19, perusahaan kecantikan asal Prancis, Sephora, mencatat kenaikan penjualan sebesar 30% di pasar Amerika pada tahun 2020.
Fenomena ini tidak hanya berhubungan dengan produk kecantikan, tapi juga mencerminkan dinamika psikologi konsumen. Saat mengalami stres atau tekanan, seseorang cenderung mencari cara untuk merasa lebih baik, dan membeli barang-barang kecil dapat memberikan kepuasan yang dibutuhkan.
Lipstick effect bisa dikatakan sebagai cara bagi seseorang untuk tetap merasakan kebahagiaan di tengah ketidakpastian ekonomi. Efek ini juga mengungkapkan kemampuan industri kosmetik untuk beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen.
Dilansir dari Investopedia, lipstick effect adalah salah satu alasan mengapa restoran cepat saji dan tiket bioskop tidak terpengaruh oleh penurunan daya beli di tengah resesi.
Konsumen dengan keterbatasan uang ingin membeli sesuatu yang dapat mengalihkan perhatian mereka dari kondisi finansialnya. Meskipun tidak mampu berlibur ke Bermuda, mereka akan menyesuaikan anggaran dan mencari kepuasan dengan hangout yang lebih terjangkau.
Adapun, dalam kondisi ekonomi sulit, orang cenderung tetap membeli beberapa barang yang tidak sepenuhnya diperlukan, seperti lipstik, kopi, rokok, tiket film, tiket konser musik, gadget, bahkan boneka seperti Labubu.
Membeli barang-barang ini memungkinkan mereka merasa normal dan senang saat ekonomi sedang sulit. Alih-alih sepenuhnya menahan keinginan untuk membeli barang ini, orang-orang tetap membelinya.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 03 Nov 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 04 Nov 2024