JAKARTA - Beberapa waktu belakangan, istilah ‘jouhatsu’ kembali menjadi bahan perbincangan banyak orang. Jouhatsu adalah suatu fenomena yang telah menarik perhatian banyak orang di Jepang selama beberapa tahun terakhir.
Istilah jouhatsu secara harfiah berarti menghilang, yang mengacu pada arti meningkatnya jumlah orang di Jepang yang memilih terputus dari masyarakat. Orang-orang yang melakukan jouhatsu dikenal sebagai jouhatsu-sha sering tinggal di daerah terpencil, pedesaan, dan bertahan hidup dengan menanam makanan mereka, mengandalkan sumber daya alam, dan menghindari kontak dengan dunia luar sebisa mungkin.
Seperti yang dilansir dari Guidable, diduga ada 100.000 orang menghilang etiap tahunnya. Fenomena ini bahkan menjadi begitu lazim hingga ada perusahaan yang menawarkan jasa untuk membantu orang menghilang.
Ada banyak alasan yang membuat orang Jepang memilih melakukan jouhatsu. Beberapa orang ingin melakukannya karena ingin menjalani gaya hidup yang lebih mandiri dan berkelanjutan, sementara yang lain ingin berusaha untuk melepaskan diri dari tekanan kehidupan modern.
Tidak hanya itu, banyak jouhatsu-sha adalah individu yang mengalami trauma atau isolasi sosial dan memilih untuk hidup jauh dari masyarakat sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang menyakitkan tersebut.
Di sisi lain, beberapa jouhatsu-sha mungkin terpaksa masuk ke gaya hidup ini karena keadaan seperti tunawisma atau kemiskinan. Orang-orang ini mungkin melihat hidup di luar ‘jaringan’ sebagai cara untuk bertahan hidup dan mencari nafkah ketika pilihan lain tidak tersedia.
Keputusan untuk menjadi seorang jouhatsu-sha kemungkinan besar dipengaruhi oleh pengalaman, nilai, dan keadaan pribadi. Fenomena jouhatsu ini juga dapat menimbulkan kekhawatiran tentang kesejahteraan dan kesehatan individu-individu tersebut karena mereka mungkin tidak memiliki akses ke perawatan medis atau sumber daya lain yang dianggap biasa dalam masyarakat.
Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua jouhatsu-sha dimotivasi oleh keinginan untuk menghindari ekspektasi sosial atau rasa takut gagal. Beberapa mungkin termotivasi karena faktor lain, seperti keinginan untuk menjalani gaya hidup berkelanjutan dan mandiri atau keinginan untuk mengatasi pengalaman trauma atau isolasi sosial.
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh pada 13 Sep 2024