
Pemilu Sisakan Perih Lahir Batin Bagi Tumirin
Meski pemilihan umum telah berlalu, bagi Tumirin hajat demokrasi lima tahunan tersebut masih meninggalkan rasa sakit. Tak hanya fisik, hatinya pun ikut pedih.
Halo Berita
Halopacitan, Pacitan—Dua jari kaki Tumirin patah, dada mengalami trauma kena benturan dan kepalanya robek akibat kecelakaan yang dialami ketika mengawal berkas dan material pemilu, Tumirin harus membiayai sendiri pengobatannya.
“Tinggal dada saya yang masih nyeri, apalagi saat menarik nafas dalam. Jari kaki saya sudah pulih walaupun masih sedikit nyeri," kawab Tumirin (40) saat ditemui di rumahnya yang ada di Dusun Panjing Rt 02 Rw 09 Desa Bandar Pacitan Sabtu (04/05/2019).
Saat pemilu dia menjadi petugas Pengawas TPS di TPS 09 Desa Bandar. Ketika mengawal material pemilu yang akan disetorkan kembali ke Kantor PPK yang ada di Kecamatan Bandar pada hari Kamis 18 April dia bertabrakan dengan pemotor dari lawan arah.
Tumirin yang masih mengenakan seragam PTPS lengkap tersebut sempat kehilangan kesadaran saat dibawa ke Puskesmas Bandar dan baru sadar setelah sampai di RSUD Dr. Darsono Pacitan. Dari hasil pemeriksaan bapak dua anak tersebut mengalami dislokasi pada ruas kedua jari kelingking kaki kiri, kepala sobek akibat benturan yang berakibat pendarahan dan dada memar juga akibat benturan.
Di RSUD Pacitan, Tumirin sempat kecewa dengan pelayanan yang ada. Menurutnya, saat itu ia yang diantar keluarga baru dapat ditangani pada hari Senin 22 April dengan alasan dokter baru ada pada hari itu. Dia tidak diberi kepastian harus rawat inap atau cukup rawat jalan.
"Padahal kondisi saya saat itu masih sangat pusing. Jari kelingking saya masuk kedalam hingga yang terlihat hanya kuku-nya saja, dada juga masih nyeri untuk bernafas saat itu sakit sekali," jelas Tumirin.
Tidak tahan menahan sakit dan waktu penanganan yang masih empat hari karena harus menunggu dokter datang, Tumirin mengambil keputusan untuk tidak dirawat di RSUD. Setelah membayar semua biaya administrasi ia diantar salah satu kerabat yang tinggal di Pacitan mendatangi salah seorang ahli sangkal putung yang berada di Desa Bangunsari Kecamatan Pacitan untuk mengobati jari kelingkingnya.
"Alhamdulillah, setelah dua kali dirawat disana saya sudah bisa berjalan dan nyeri banyak berkurang," jelasnya.
Tumirin mengaku tidak dapat membayangkan apa yang ia alami jika harus tergolek selama empat hari di RSUD hanya untuk menunggu dokter.
Mengaku membiayai sendiri semua pengeluaran saat ia mengalami kecelakaan, Tumirin mengaku honor sebagai pengawas tidak cukup untuk melunasi semua biaya. "Honor yang saya terima Rp550.000 sudah habis untuk membeli ponsel yang mampu untuk aplikasi panwas. Ponsel lama sudah jadul memorinya kurang, terpaksa beli baru Rp 1,6 juta," ucapnya.
Sementara untuk biaya pengobatan pria yang kesehariannya bekerja menyopir angkutan di wilayah Bandar tersebut harus membuka tabungan dan dibantu kepedulian dari rekan sesama pengawas. Dari pengakuannya, Tumirin harus mengeluarkan biaya total sekitar Rp3 jutaan baik untuk biaya rumah sakit maupun sangkal putung. "Itu belum biaya perawatan di Puskesmas dan sewa ambulans saat saya di bawa ke Pacitan, tagihannya belum diberikan," ucap Tumirin sambil mengelus kepala anak sulungnya.
Hingga sekarang dia juga belum dapat bekerja karena masih merasakan nyeri saat menginjak pedal kopling dan dada yang masih nyeri. Tumirin mengaku hingga saat ini belum ada bantuan dari pemerintah, baik pembebasan atau hanya sekadar pemotongan biaya perawatan yang harus ia tanggung.
Menjadi Pengawas TPS sebagai bentuk kesadaran sebagai warga negara, Tumirin merasa kecewa dengan kejadian yang ia alami. "Kalau dari teman-teman sesama pengawas bahkan dari Bawaslu ada tali asih, lain dari itu tidak ada sama sekali," katanya lirih.
Tumirin berharap, ke depan cukup ia saja yang turut menjadi korban dari proses pemilu. "Jujur, kejadian yang menimpa saya salah satu penyebabnya adalah kelelahan. Saat itu badan saya seperti melayang, konsentrasi juga sering hilang. Lima hari bekerja selalu melewati batas normal orang bekerja yang delapan jam, bahkan saat penghitungan lebih 24 jam bagaimana tidak lelah?," ucap Tumirin.
Meski demikian dia mengaku tidak kapok menjadi bagian dari kepanitiaan pemilu, pria yang sudah berulang kali ikut ambil peran saat pemilu tersebut, berharap sistem pemilu tahun dapat diubah, karena menurutnya jika masih memakai sistem sekarang, penyelenggara pemilu akan kesulitan mencari relawan.
"Pemilu tahun ini benar-benar luar biasa. Repot, lama dan melelahkan. Bukan masalah honor, bekerja tanpa menghitungkan waktu ternyata sangat berbahaya, alhamdulillah saya hanya patah tulang, ditempat lain khan banyak yang meninggal," keluh Tumirin.
