logo
Riski Febian Adi Putra membawa koran dagangannya Senin (15/10/2018)
Halo Pendidikan

Riski: Saya Sering Mimpi di Sekolah, Banyak Teman, Pakai Seragam

  • Di usianya yang hampir 13 tahun, Riski Febian Adi Putra seharusnya duduk di kelas VI SD atau Kelas I SMP. Tetapi boro-boro menggunakan seragam putih biru, anak itu sudah dikeluarkan dari sekolah beberapa tahun yang lalu.

Halo Pendidikan
AZ

AZ

Author

Halopacitan, Pacitan—Apa yang terjadi pada anak asal Desa Ngreco Tegalombo, Pacitan ini memang terkesan aneh. Saat pemerintah menggeratiskan pendidikan dasar 12 tahun, masih saja ada anak yang putus sekolah. Apalagi karena alasan biaya.

Tetapi itulah fakta yang terjadi. Sekolah tidak sekadar SPP saja, banyak biaya lain seperti biaya beli seragam, buku, berbagai iuran kegiatan dan sebagainya.

Riski mengaku pernah merasakan bangku sekolah tersebut di SDN Sambong 1 Pacitan. Dia disekolahkan oleh seseorang yang bekerja sebagai petugas kebersihan di Terminal Pacitan bernama Saryono. Namun, di tengah perjalanan Riski harus terhenti.

"Saya juga tidak tahu kenapa dikeluarkan, cuma kata Pak Saryono saya dikeluarkan oleh sekolah," ujar Riski saat ditemui Halopacitan di sela-sela berjualan koran  Senin (15/10/2018).

Riski mengatakan, ia berasal dari Desa Ngreco Kecamatan Tegalombo, saat ini ia bersama ibunya tinggal di rumah kos yang beralamatkan di sebelah selatan Terminal Pacitan atau di Kelurahan Ploso Kecamatan Pacitan. "Saudara saya tiga satu di Surabaya satu lagi di Arjowinangun, saya anak nomor tiga, bapak sudah tidak ada, jadi saya ikut Ibu," katanya.

Riski yang seharusnya masih menikmati dunia dengan bermain dan belajar itu harus menjalani hari-hari dengan membantu ibunya yang bekerja sebagai buruh cuci dan setrika di Pacitan.

Saat ini, untuk mengisi aktivitasnya dan juga membantu pemasukan untuk Ibunya, sejak dua bulan lalu, Rizki mulai berjualan koran secara keliling yang diambil dari salah satu agen di Terminal Pacitan. Setiap hari menyusuri jalan di kota Pacitan dengan jalan kaki dan kembali lagi ke Terminal.

"Biasanya sehari cuma dapat Rp20.000, kadang juga lebih karena ada yang beli dikasih lebih uangnya, setelah koran habis ya balik ke kos," terang remaja kelahiran 6 Februari 2006 ini.

 

Walaupun hanya duduk dibangku SD kelas IV saja dan itu pun tidak selesai, ia cukup lancar membaca, hal itu dibuktikan ketika dia membaca halaman depan koran yang dibawanya.

Riski yang saat ditemui menggunakna jersey Barcelona dan bertopi hitam itu mengaku sangat ingin bersekolah dan menjalani hidup seperti kebanyakan remaja di usianya. Namun karena terbentur biaya dan keadaan ekonomi keluarga, ia pun harus pasrah dengan keadaan yang dialaminya. Sekolah benar-benar menjadi sebuah mimpi yang menghiasi tidurnya.

"Cuma mimpi kalau sekolah, dan itu sering, mimpi berada di sekolah, banyak teman, pakai seragam," akunya.

Untunglah, seseorang yang telah mendatanginya dan mengusahan Riski untuk kembali menempuh sekolah. "Alhamdulillah, baru kemarin itu ada orang nemui saya katanya dari Dinas Sosial, mau diusahakan untuk bisa sekolah lagi. Kalau tidak salah besok atau minggu-minggu ini saya sudah bisa sekolah," ungkap Riski dengan nada gembira.

 

Sementara, Sukmawati, Kepala Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial di Dinas Sosial Kabupaten Pacitan mengaku sudah mendapat laporan tentang Riski sejak beberapa hari lalu, bahkan pihaknya sudah memproses untuk menangani Riski supaya bisa bersekolah kembali.

"Yang jelas Riski ini sudah kita upayakan penanganannya. Kemarin kita baru selesai menguruskan akta kelahirannya dan besok kita daftarkan Riski sekolah di Paket A di SKB," ujarnya saat dihubungi Halopacitan.

Sukmawati menambahkan, sedangkan untuk biaya pendidikan bagi Riski, pihaknya sudah mengkoordinasikan dengan Dinas Pendidikan dan akan mendapat keringanan biaya dari anggaran Pemerintah Daerah. "Harapan pemerintah semua anak bisa kembali ke sekolah. Pemda bisa memfasilitasi dengan memberikan keringanan biaya sekolah," imbuhnya.

Tetapi bisa jadi anak putus sekolah juga bukan semata karena biaya, mungkin karena budaya. Karena menurut pengakuan Riski, di tempat asalnya yakni di Ngreco, banyak remaja baik seusianya maupun di atasnya hanya menempuh pendidikan cukup sekolah dasar saja.  "Di sana kebanyakan orang-orang cuma sekolah SD saja, setelah lulus SD kadang keluar kota ikut saudara atau ya bekerja saja," terang Riski.

Tetapi apapun itu, langkah Dinas Sosial layak diacungi jempol, tetapi Riski bisa jadi hanya satu dari sekian banyak yang terdeteksi tidak bisa sekolah. Harus ada upaya lebih untuk menyisir dan menemukan mereka untuk dibawa lagi ke dunia yang menjadi hak anak-anak tersebut.