JAKARTA - Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dengan metode omnibus law yang sedang digodok pemerintah menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Salah satu yang menjadi sorotan yaitu penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam satu kelompok zat adiktif.
Ketentuan tersebut tercantum dalam pasal 154 ayat (3) dengan bunyi: zat adiktif dapat berupa: a. narkotika; b. psikotropika; c. minuman beralkohol; d. hasil tembakau; dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai penyetaraan tembakau, yang merupakan produk legal, dengan narkoba yang jelas ilegal, hanya akan berujung untuk mematikan Industri Hasil Tembakau yang selama ini telah berkontribusi besar kepada negara. Pasalnya, penyetaraan ini akan menimbulkan perlakuan diskriminatif serta aturan yang mengekang terhadap tembakau.
“Dampaknya terhadap Industri Hasil Tembakau ini pasti mati. Orang akan dilarang dan ditangkap polisi. Pemerintah harus bijak dalam membuat aturan. Kalau ini dipaksakan juga akan membuat legitimasi presiden itu jatuh karena dianggap tidak pro rakyat kecil,” ujar Hikmahanto.
Menurut Hikmahanto matinya Industri Hasil Tembakau akan menimbulkan dampak ekonomi yang besar. Industri ini telah menyerap jutaan tenaga kerja yang tidak bisa digantikan oleh sektor lain. Seharusnya pemerintah melindungi industri ini terutama di tengah lapangan pekerjaan yang sulit bagi masyarakat.
Ia menilai penyetaraan ini mengabaikan aspek ekonomi, mengingat Industri Hasil Tembakau memberi sumbangsih signifikan bagi negara dalam hal penerimaan hingga serapan tenaga kerja. “Kalau membuat aturan aja sih gampang tapi harus dianalisa dampak ekonominya, rugi dan untungnya. Memangnya lapangan kerja mudah sekarang? Berapa tenaga kerja yang akan kehilangan pekerjaan? Belum lagi di industri ini banyak ibu-ibu yang jadi tulang punggung keluarga,” tegas Hikmahanto.
Hikmahanto menambahkan aturan soal tembakau telah diatur secara komprehensif di regulasi yang berlaku saat ini, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012). Menurutnya, Pemerintah cukup mengacu pada aturan yang sudah ada saat ini. Produk hukum yang disusun, tambahnya, jangan hanya melihat dari satu perspektif dan mementingkan ego sektoral masing-masing.
Hikmahanto menilai upaya mensejajarkan tembakau dengan produk ilegal, seperti narkoba, justru akan memberikan peluang masuknya produk tembakau dari luar secara diam-diam. Hal ini secara praktis akan mengancam pendapatan negara dari cukai hasil tembakau.
“Jangan sampai kita mengilegalkan rokok, tapi kemudian masuk tembakau selundupan dari luar. Orang Indonesia ini masih sulit melepaskan diri dari rokok. Ketentuan soal tembakau mengacu saja ke aturan yang sudah ada saat ini,” jelasnya.
Selain itu, Hikmahanto berpendapat sejumlah regulasi terkait pertembakauan yang berlaku ataupun yang sedang diusulkan saat ini, baik melalui revisi PP 109/2012 atau RUU Kesehatan, dianggap sudah eksesif.
Aturan-aturan tersebut dinilai berkaca pada aturan internasional seperti Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Ia menyatakan langkah yang diambil Pemerintah Indonesia dengan tidak meratifikasi FCTC itu sudah tepat sehingga Indonesia dapat mengatur kebijakannya sendiri.
“Soal FCTC, ini tidak usah diratifikasi. Ini mau mengatur-ngatur. Kalau negara kita diatur sama internasional, ini akan bikin repot. Rakyat masih butuh pekerjaan di industri ini. Oleh karena itu, masalah ini harus dilihat secara komprehensif,” tutupnya.