Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bakal menarik pajak pertambahan nilai (PPN) dari sekolah. Rencana ini tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan kebijakan ini membuat akses pendidikan di Indonesia semakin sulit dijangkau masyarakat berpendapatan rendah.
“Biaya pendidikan di Indonesia ini sudah mahal, apalagi di jenjang pendidikan tinggi,” kata Bhima seperti dilansir dari TrenAsia.com, Kamis (10/6/2021).
Dalam beleid tersebut, Kemenkeu mencabut penyelenggara jasa pendidikan dari pengecualian objek kena pajak. “Jenis jasa yang tidak dikenai PPN yakni, Jasa pendidikan (dihapus),” tulis draf RUU KUP, dikutip Kamis, 10 Juni 2021.
Selain jasa penyelenggara pendidikan, sejumlah jasa esensial lain dicabut dari pengecualian pajak. Hal itu meliputi jasa kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, dan jasa asuransi.
Adapun dalam pasal 4A ayat (3) RUU KUP, dijelaskan penerapan PPN sekolah ini berlaku bagi sekolah swasta, bimbingan belajar (bimbel), jasa pelatihan, hingga perguruan tinggi swasta.
TrenAsia.com sempat menghubungi Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor untuk menanyakan rencana PPN bagi sekolah tersebut. Hingga berita ini diturunkan, yang bersangkutan belum memberikan jawaban.
Kebijakan PPN bagi sekolah ini dilakukan di tengah kondisi keuangan lembaga pendidikan yang merosot akibat pandemi COVID-19.
Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APITSI) melaporkan penurunan jumlah mahasiswa selama pandemi COVID-19 berimbas terhadap kondisi keuangan kampus. Pasalnya, sebanyak 60%-90% pendapatan universitas swasta dikucurkan dari biaya kuliah mahasiswa.
Hal ini membuat akses terhadap pendidikan yang terjangkau semakin sulit. Bahkan sebelum ada pandemi, rata-rata biaya kuliah S1 di Indonesia menurut riset Asian Development Bank (ADB) mencapai Rp145 juta. Angka lebih tinggi dibandingkan Malaysia sebesar Rp78 juta-Rp125 juta.
Perguruan tinggi swasta merupakan lembaga pendidikan yang menampung 4,5 juta mahasiswa 64% jumlah mahasiswa nasional. Jumlah perguruan tinggi swasta yang terakreditasi pun mencapai 3.171 lembaga atau 96% dari total perguruan tinggi di Indonesia.
Dari sisi masyarakat, kebijakan ini semakin melengkapi penderitaan kalangan ekonomi lemah. Secara beruntun, pemerintah terus melancarkan kebijakan yang menyulitkan masyarakat kelas bawah seperti rencana PPN kebijakan pokok, pencabutan subsidi listrik, hingga kenaikan tarif dasar PPN.
“Gimana caranya bagi masyarakat miskin untuk keluar dari kemiskinan bila pemerintah memutus akses pendidikannya. Padahal lembaga pendidikan yang disediakan pemerintah jumlahnya masih minim,” kata Bhima.
Padahal, kata Bhima, merupakan kunci bagi masyarakat miskin untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Riset SMERU Institute menemukan sebanyak 87% anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung memiliki pendapatan lebih rendah ketika dewasa.
Riset bertajuk the Indonesia Family Life Survey tersebut juga menyebut sebanyak 63% penduduk miskin di Indonesia hanya mampu mendapat pendidikan setara sekolah dasar (SD). Dalam riset tersebut, daya saing untuk mendapatkan pendapatan lebih tinggi bisa ditempuh melalui akses pendidikan yang terjangkau. (LRD)