Bersih Desa, Mengajak Anak Muda Memaknai Nasi Oseng Tanpa Daging

AZ - Rabu, 24 Juli 2019 07:00 WIB
Kenduri bersih desa undefined

Halopacitan, Arjosari— Laju teknologi dan kemajuan zaman tidak mungkin terbendung. Di Kedungbendo pelestarian budaya dan adat menjadi harapan sebagai filter

Pagi ini suasana di Dusun Krajan dan lapangan Desa Kedungbendo nampak ramai. Masing -masing warga asyik dengan aktivitasnya masing-masing maupun berkelompok membersihkan lingkungan sekitar dan juga lapangan desa.

Rupanya ini tepat hari Rabu Kliwon bulan Dulkaidah atau bulan Longkang dalam penanggalan Jawa di mana hari ini ada upacara bersih desa yang di rangkai dengan kegiatan-kegiatan lainnya.

Bagi masyarakat Jawa, terutama di wilayah Pacitan yang masih memegang teguh adat istiadat, bulan Dulkaidah dalam penanggalan Islam sering digunakan untuk melangsungkan upacara-upacara adat. Seperti upacara adu kelapa di Desa Cemeng, ceprotan di Desa Sekar dan lain-lainnya.

Tidak terkecuali yang terjadi Rabu (24/07/2019) di Desa Kedungbendo, Kecamatan Arjosari. Menurut Giyanto Kepala Desa Kedungbendo, setiap Rabu Kliwon, Bulan Longkang masyarakat Kedungbendo melakukan upacara bersih desa dan sedekah bumi.

Di Kedungbendo, upacara bersih desa dilakukan di tiap-tiap lingkungan masing-masing, dan diakhiri dengan sedekah bumi berupa kenduri di rumah kepala dusun masing-masing. "Yang dibersihkan termasuk wilayah sumber-sumber mata air di lingkungan sekitar. Puncak acaranya nanti malam digelar kesenian wayang kulit di lapangan desa," jelas Giyanto.

Menurut Giyanto, kegiatan bersih desa tersebut sudah berlangsung sejak zaman dahulu dan kegiatannya tidak berubah. Yang unik dari kegiatan tersebut salah satunya adalah genduri yang diadakan di tiap-tiap dusun dengan masing-masing kepala keluarga membawa dua mampan atau encek makanan. Satu nampan berisi pala pendem yaitu palawija hasil bumi sedangkan mampan kedua berisi nasi oseng, kering tempe dan lauk lainnya namun tidak ada dagingnya.

"Hal itu [nasi oseng tanpa daging] sudah sejak zaman saya kecil. Mungkin sebagai wujud kesederhanaan," jawab Giyanto.

Giyanto menambahkan kegiatan ini juga wujud memupuk kerukunan masyarakat, menumbuhkan semangat gotong-royong dan sebagai wahana pendidikan bagi generasi muda. "Anak-anak muda kami perankan sebagai panitia, terutama nanti malam saat puncak acara. Mereka akan belajar menghargai dan dapat memaknai arti dari pelestarian budaya jika ikut terjun langsung. Ngelmu iku kelakone kanthi laku jika meminjam istilah orang Jawa," ucap Giyanto lagi.

Dika Agustiawan (26), salah satu panitia dari desa mengaku mengaku mulai memahami makna bersyukur, berdoa dan upaya orang jaman dahulu untuk menyelaraskan diri dengan alam. “Acara bersih-bersihnya tidak menyembah punden [tempat keramat] dan pohon namun bagaimana kita menghargai alam karena menurut saya tanah, air dan udara adalah penyokong kehidupan," jelas pemuda yang mengaku dulu sempat acuh bahkan mencibir dengan bentuk kegiatan-kegiatan seperti itu.

Dika juga berharap ke depan lebih banyak anak-anak muda di desanya turut terjun langsung. Dengan harapan upacara adat tersebut dapat diangkat menjadi ikon desa. "Jika bisa jadi destinasi wisata budaya seperti ceprotan khan yang untung kita juga," ucap Dika mantap.

Bagikan

RELATED NEWS