Pandemi dan Jalan Terjal Ekonomi RI: Kaleidoskop 2020 (Serial 1)

SP - Senin, 28 Desember 2020 22:19 WIB
Ilusrtasi: Catatan Sepanjang Tahun 2020 undefined

Tahun 2020 yang identik dengan tahun tikus logam yang menggambarkan keberuntungan, kekayaan, dan kesuburan justru mencatat rentetan sejarah pahit di seluruh dunia. Namun yang dirasakan justru berbalik karena bencana banjir, tanah longsor, gunung berapi, dan pandemi COVID-19 justru terus mewarnai.

Bencana banjir di DKI Jakarta pada awal tahun 2020, dilaporkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menewaskan 66 orang dan ribuan orang mengungsi saat tahun baru. Kerugian banjir di wilayah DKI Jakarta kira-kira mencapai Rp1 triliun.

Belum persoalan banjir surut sepenuhnya di dalam negeri, dunia sudah heboh dengan kemunculan wabah ganas bernama Virus Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang sudah menjangkiti sejak akhir 2019 di Wuhan, China.

Penularan wabah pun makin meluas dengan cepat di banyak negara. Secara resmi, pemerintah mengonfirmasi kasus perdana COVID-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020. Dua minggu berselang, pemerintah ‘panen’ wabah dengan kasus terkonfirmasi positif sebanyak 117.

Hingga jelang penutupan buku 2020, ada lebih dari 600.000 orang positif dan 20.000 orang meninggal dunia. Cepatnya eskalasi penyebaran membuat pemerintah meneken aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 pada 31 Maret 2020.

Perppu tersebut kemudian sah menjadi Undang Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020.

Secara garis besar, materi pokok Perppu 1 2020 meliputi Kebijakan Keuangan Negara yang pada intinya terdiri atas penyesuaian batasan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Penggunaan sumber pendanaan alternatif anggaran, pergeseran dan refocusing anggaran pusat dan daerah. Serta pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional untuk kesinambungan sektor riil dan sektor keuangan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, defisit APBN tahun ini diperkirakan akan melampaui 6,34% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau melebar ke Rp1.039,2 triliun dari semula ditargetkan Rp307,2 triliun atau 1,76% dari PDB.

Program Pemulihan Ekonomi Nasional

Sebagai bentuk bantalan perekonomian, pemerintah menggelontorkan sejumlah anggaran melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Seiring berjalannya waktu, anggaran PEN telah direvisi sebanyak tiga kali. Pertama, naik dari Rp318,09 menjadi Rp641,12 triliun. Kedua, diperlebar lagi menjadi Rp677,2 triliun dan ketiga, menjadi Rp695,2 triliun.

“Situasi terus bergerak, kami harus selalu merespons. Jadi program ini ada dinamikanya,” kata Sri Mulyani, Selasa, 16 Juni 2020. Penambahan ini lantaran ada beberapa peningkatan alokasi, yang terbesar terjadi pada pembiayaan korporasi yang melonjak menjadi Rp53,57 triliun.

Struktur alokasi program PEN terbagi atas Rp87,55 triliun untuk sektor kesehatan, perlindungan sosial sebanyak Rp203,9 triliun, insentif usaha Rp120,61 triliun, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 trilun, dan sektoral/pemerintah daerah Rp106,11 triliun.

Salah satu bagian dari kebijakan bantalan ekonomi, pemerintah menyulap Kartu Pra Kerja sebagai salah satu instrumen penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) dalam PEN.

Sebelumnya, Presiden Jokowi resmi menandatangani Perpres Kartu Pra Kerja pada Februari 2020. Bantuan ini tertuju bagi pengangguran dan pencari kerja yang kena PHK atau ingin meningkatkan kompetensi.

Bantuan peserta Kartu Pra Kerja yang memenuhi syarat, totalnya senilai Rp3,55 juta. Terdiri dari biaya pelatihan Rp1 juta, insentif pascapelatihan Rp600.000 per bulan selama empat bulan, insentif pascapengisian survei evaluasi Rp50.000 per survei untuk tiga kali.

Dampak ke Pertumbuhan Ekonomi

Kendati telah keluar ongkos hampir Rp1 triliun untuk meminimalisasi dampak ekonomi dari COVID-19, akan tetapi PSBB memang bagaikan buah simalakama sejak diberlakukan. Benar saja, pada kuartal I-2020, Indonesia hanya mampu tumbuh mencapai 2,97%.

Lalu pada kuartal II-2020 ekonomi terjun bebas ke level 5,32% secara tahunan. Terbaru, meski tak sedalam kuartal kedua, ekonomi kuartal III-2020 tercatat masih di zona negatif yakni minus 3,49% jika dibandingkan dengan pertumbuhan kuartal III-2019.

Kabar baiknya, ekonomi kuartal III-2020 terhadap kuartal sebelumnya tumbuh sebesar 5,05%. Namun, secara tahunan, kontraksi pertumbuhan tercatat sebesar 3,49%, dengan angka kumulatif sebesar 2,03 %.

Dengan kondisi negatif dua kuartal berturut-turut, Indonesia resmi bergabung dalam klub ratusan negara di dunia yang mengalami resesi ekonomi. Sejak merebut kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia telah mengalami tiga kali krisis ekonomi dan dua kali resesi. Krisis ekonomi terjadi pada 1998, 2008, dan 2020.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2020 masih terkontraksi 4,04% year on year (yoy). Angka ini mengalami perbaikan dibandingkan dengan kontraksi kuartal kedua yakni 5,52%.

Berdasarkan sumber pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), konsumsi rumah tangga menjadi kontributor terbesar kontraksi ekonomi Indonesia secara tahunan yakni sebesar -2,17%. Tak heran, sebab bobot konsumsi rumah tangga dalam perekonomian sebesar 57 %.

Kemudian, BPS juga mengumumkan setelah terjerat deflasi selama tiga kali berturut-turut pada kuartal III-2020, Indeks Harga Konsumen (IHK) akhirnya mengalami inflasi pada Oktober 2020 sebesar 0,07%.

Utang dan Pengangguran

Sementara itu, Bank Indonesia mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia tumbuh melambat pada akhir Oktober 2020. Posisi ULN Indonesia pada periode tersebut tercatat sebesar US$413,4 miliar atau sekitar Rp5.858,29 triliun. Jumlah itu dengan asumsi kurs Rp14.171 per dolar AS.

ULN Indonesia tersebut terdiri dari utang sektor publik, yaitu pemerintah dan Bank Sentral sebesar US$202,6 miliar dan sektor swasta, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar US$210,8 miliar.

Tak hanya dalang dari pembengkakan utang, COVID-19 juga turut menghantam sektor ketenagarkerjaan. Akibatnya, jumlah pengangguran terpukul pandemi bertambah 2,56 juta orang hingga Agustus 2020.

Secara kumulatif ada 29,12 juta orang (14,28%) penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19. Sedangkan, pengangguran karena COVID-19 (2,56 juta orang).

Adapun, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Agustus 2020 sebesar 7,07%, meningkat 1,84% poin dibandingkan dengan Agustus 2019. Penduduk yang bekerja sebanyak 128,45 juta orang, turun sebanyak 0,31 juta orang dari Agustus 2019.

Tercatat, lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan persentase terbesar adalah sektor pertanian (2,23 %). Sementara, sektor yang mengalami penurunan terbesar yaitu sektor industri pengolahan (1,30%), seperti dilansir dari TrenAsia.com, Senin (28/12/2020).

Investasi di Masa Pandemi

Meski demikian, harapan pemulihan masih tercermin dari realisasi investasi. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi pada kuartal III-2020 tumbuh 1,8% yoy menjadi Rp209 triliun.

Dengan demikian, BPKM telah merealisasikan investasi sebesar Rp611,6 triliun atau 74,8% dari target sepanjang 2020 yakni Rp817,2 triliun. Bahlil merinci, realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) tercatat sebesar Rp102,9 triliun, naik 2,1% yoy.

Sedangkan, penanaman modal asing (PMA) tercatat Rp106,1 triliun. Adapun, realisasi investasi pada kuartal III-2020 mampu menyerap 295.387 orang yang berasal dari 45.726 proyek investasi.

Bahan Bakar Tambahan PEN

Di tengah keringnya perekonomian Tanah Air, pemerintah membuat gaduh masyarakat dengan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pada Sabtu malam Minggu, 3 Oktober 2020, jelang tengah malam atau tepatnya pukul 22.50 WIB.

Sebagaimana digaungkan, UU sapu jagad ini mampu menjadi magnet investasi di Tanah Air dan menciptakan banyak lapangan pekerjaan.

Selain UU Ciptaker, pemerintah telah memasang target penghimpunan dana US$20 miliar atau Rp283,42 triliun (kurs Jisdor Rp14.171 per dolar Amerika Serikat/AS) dari Lembaga Pengelolaan Investasi atau LPI (Sovereign Wealth Fund/SWF).

Rinciannya, US$5 miliar atau Rp70,85 triliun berasal dari pemerintah. Sisanya, US$15 miliar atau Rp212,56 triliun dari investasi asing alias foreign direct investment (FDI).

Tahun depan, pemerintah sudah mengetok pagu anggaran untuk pembangunan infrastruktur tahun depan sebesar Rp417,8 triliun. Kebijakan pembangunan infrastruktur 2021 merupakan pembangunan berkelanjutan pascapandemi COVID-19.

Jumbonya kebutuhan dana infrastruktur tahun depan membuat pengamat ekonomi senior, Fauzi Ichsan menilai pembentukan SWF memang masuk akal. Jika tidak, pemerintah akan membutuhkan waktu lama untuk bisa memenuhi target pembangunan.

“Ini wadah bersama bagi investor internasional dan pemerintah, keduanya investasi bersama untuk merealisasi proyek,” kata Fauzi kepada TrenAsia.com, Senin, 28 Desember 2020.

Asal tahu saja, pemerintah telah menghimpun dana senilai US$6 miliar Rp85,03 triliun untuk SWF. Dana itu merupakan hasil kunjungan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir ke luar negeri pada akhir November hingga awal Desember lalu.

Rinciannya, US$4 miliar atau Rp56,68 triliun berasal dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Sisanya, US$2 miliar atau Rp28,34 triliun dari Development Finance Corporation (DFC), AS. (SKO)

Bagikan

RELATED NEWS