Refleksi Hari Bahasa Ibu Internasional, 21 Februari untuk Anak Negeri

SP - Sabtu, 22 Februari 2020 01:23 WIB
Dr. Sri Pamungkas, S.S., M.Hum, Pakar Pendidikan dan Pemerhati Anak, Tinggal di Pacitan Jawa Timur undefined

Hari ini, 21 Februari 2020 masyarakat seluruh dunia memeringati sebuah hari berharga yang tidak kalah petingnya dengan hari-hari besar lain seperti Sumpah Pemuda, hari Pahlawan, hari Ibu dan lain-lain. Sejak Organisasi internasional yaitu United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, atau disingkat UNESCO, pada tangga 17 November 1999 silam, menetapkan hari penting pada 21 Februari yaitu sebagai hari Bahasa Ibu Internasional.

Bahasa menjadi aspek penting dalam pembangunan manusia. Kita bayangkan bagaimana seandainya di dunia ini tidak ada bahasa, karena dengan bahasa akan dapat memanusiakan manusia, dengan bahasa manusia akan mampu mengembangkan dirinya, berinteraksi dengan sesama. Pentingnya bahasa dalam kehidupan, dibuktikan dengan hadirnya perangkat yang dititipkan oleh Tuhan dalam setiap otak manusia berupa piranti untuk mampu berbahasa yaitu LAD, Language Acquisition Device. Manusia akan mampu berbahasa dengan baik atau tidak tergantung bagaimana optimalisasinya, pembelajarannya, karena kemampuan berbahasa sesorang adalah not instinctive (bukan insting) dan tidak terikat oleh gen atau bukan faktor keturunan.

Setiap anak yang terlahir ke dunia ini akan belajar bahasa pertamanya atau yang disebut bahasa ibu. Tahapan mulai babbling stage (tahap pegocehan), holoprastic stage (tahap satu kata satu frasa), tahap dua kata satu frasa, tahap menyerupai bahasa telegram, dan seterusnya disadari atau tidak akan dilalui anak. Fase-fase tumbuh kembang anak tidak bisa dilepaskan dari fase pemeroleha bahasanya. Anak-anak yang setiap saat mendengarkan tutur kata yang baik pasti otaknya akan merekam, demikian juga kenal tidaknya seorang anak pada bahasa ibu tergantung pada proses yang dibelajarkan padanya. Bahasa daerah menjadi bahasa yang pertama kali didengar seorang anak, karena mereka tumbuh dalam sebuah keluarga baru kemudian mereka mengenal bahasa nasionalnya, bahasa asing dan seterusnya. Pada keluarga-keluarga modern sayangnya mulai jarang anak-anak dikenalkan dengan bahasa daerah mereka, demikian juga dengan pernikahan antarsuku maupun antarnegara yang menuntut mereka untuk menagajarkan anak-anak langsung mengenal bahasa Indonesia bahkan bahasa asing.

Betapa pentingnya bahasa Ibu bagi tumbuh kembang anak-anak, karena bahasa merupakan bagian dari unsur kebudayaan, sehingga ketika mempelajari budaya ada bahasa di dalamnya demikian sebaliknya. Resolusi bahasa internasional ini disarankan oleh Rafiqul Islam, seorang Bangli yang tinggal di Vancouver, Kanada. Ia menulis surat kepada Kofi Annan pada tanggal 9 Januari 1998, memintanya untuk mengambil langkah untuk menyelamatkan bahasa dunia dari kepunahan dengan mendeklarasikan Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day). Akhirnya dipilihlah tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional karena pada tanggal tersebut, Bangladesh mengalami pembunuhan di tahun 1952 dalam memperjuangkan bahasa Bangli di Dhaka.

Jangan menganggap remeh bahasa karena dengan bahasa orang bisa dimuliakan bahkan juga dapat diciderai. Direktur Jenderal UNESCO, Audrey Azoulay dalam pesannya mengatakan, “Bahasa lebih dari sekedar alat komunikasi tetapi hal ini adalah kondisi kemanusiaan kita. Nilai-nilai kita, keyakinan dan identitas kita tertanam di dalamnya”.

Data UNESCO menunjukkan, setiap dua minggu, sebuah bahasa lenyap. Hilangnya bahasa, secara langsung juga berdampak pada hilangnya warisan budaya pula. Di Indonesia pun tercatat tujuh bahasa daerah punah di Kepulauan Maluku. Walaupun Indonesia adalah negara yang kaya akan bahasa daerah dan budaya serta menjadi negara kedua yang memiliki bahasa daerah terbanyak setelah Papua Nugini, ancaman punahnya bahasa daerah juga dihadapi negara ini.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengidentifikasi 652 bahasa yang divalidasi dari 2.452 daerah di Indonesia. Sebelas bahasa yang sudah punah, yaitu bahasa daerah Kayeli, Piru, Moksela, Palumata, Ternateno, Hukumina, Hoti, dan Serua dari Kepulauan Maluku serta Nila serta bahasa Papua. Sementara empat lainnya dalam kondisi kritis bahasa Ibo dan Meher dari Maluku, bahasa Reta dari NTT, dan bahasa Saponi dari Papua. Enam belas bahasa daerah di Indonesia kini dalam kondisi terancam punah dan hanya 19 bahasa daerah yang masuk paling aman, termasuk bahasa Jawa. Namun demikian, kita harus tetap bijak dalam menggunakan bahasa dan terus melestarikan serta mengajarkan bahasa daerah kepada generasi Indonesia karena anak-anak Indonesia adalah masa depan Indonesia .

Bagikan

RELATED NEWS