YOGYAKARTA-Masjid memegang peranan penting di masa lampau. Fungsinya tidak hanya sebagai tempat penyebaran agama islam atau sekadar menunaikan kewajibansebagai muslim.
Masjid juga berfungsi sebagai sejarah berkembangnya kebudayaan suatu masyarakat, terutama di Yogyakarta.
Di Yogyakarta sendiri masih ada beberapa masjid tradisional yang tetap kokoh berdiri dengan ciri khas tertentu. Bahkan, masih bisa digunakanlantaran dijaga keaslian dan menjadi cagar budaya bangsa. Berikut lima masjid tersebut :
Masjid Gedhe Mataram adalah masjid tertua di Yogyakarta. Berlokasi di selatan kawasan Pasar Kotagede sekarang, tepatnya di kelurahan Jagalan, kecamatan Banguntapan Bantul. Gapura depan masjid berbeda dengan masjid pada umumnya. Karena gapura tersebut menyerupai tempat peribadatan umat Hindu atau Budha.
Bentuk gapura tersebut ada yang menyebutnya sebagai rana/kelir, di mana jika ada orang yang hendak memasuki halaman masjid harus belok ke kanan. Halaman masjid masih cukup luas. Di teras depan masjid terdapat kolam ikan kecil. Jika sudah masuk ruang utama masjid, akan terasa betul bagaimana kunonya dan nilai sejarah masjid ini. Bangunan menyerupai joglo dan tiang penyangga dari kayu jati adalah salah satunya. Kemudian mimbar imam juga terkesan klasik.
Terdapat pula sebuah kotak amal yang berbentuk lucu seperti maket atau replika masjid. Di sebelah kiri bangunan masjid, terdapat jalan masuk menuju ke makam. Pintu jalan masuk juga berupa rana/kelir. Dengan tembok-tembok yang juga mempunyai desain arsitektur zaman dulu. Masjid Kotagede ini dibangun di zaman Kerajaan Mataram pada tahun 1640 oleh Sutan Agung bersama-sama dengan masyarakat setempat yang umumnya Hindu dan Budha. Memasuki halaman masjid ada sebuah pohoh beringin tua yang usianya mencapai ratusan tahun.
Di sekitar pohon beringin terdapat parit yang mengelilingi masjid. Pada masa lalu, parit yang digunakan sebagai tempat wudhu, tapi sekarang digunakan sebagai tambak. Masjid ini mempunyai prasasti yang menyebutkan bahwa masjid dibangun dalam 2 tahap. Tahap pertama dibangun pada masa Sultan Agung hanya berupa bangunan inti masjid yang berukuran kecil sehingga saat itu disebut langgar. Tahap kedua masjid dibngun Raja Kasunanan Surakarta, Paku Buwono X.
Masjid Gedhe Kauman dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat (penghulu kraton pertama) dan Kyai Wiryokusumo sebagai arsiteknya. Masjid ini dibangun pada hari Ahad Wage, 29 Mei 1773 M atau 6 Robi’ul Akhir 1187 H.
Kompleks Mesjid Gedhe Kauman dikelilingi oleh suatu dinding yang tinggi. Pintu utama kompleks terdapat di sisi timur dengan konstruksi semar tinandu. Arsitektur bangunan induk berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara.
Di sisi dalam bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab (tempat imam memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura. Pada zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini sultan melakukan ibadah. Serambi masjid berbentuk limas persegi panjang terbuka.
Lantai ruang utama dibuat lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang hendak masuk masjid.
Di depan masjid terdapat sebuah halaman yang ditanami pohon tertentu. Di sebelah utara dan selatan halaman (timur laut dan tenggara bangunan masjid raya) terdapat sebuah bangunan yang agak tinggi yang dinamakan Pagongan.
Pagongan di timur laut masjid disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul (Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten, Pagongan Ler digunakan untuk menempatkan gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati KK Guntur Madu.
Masjid ini dibangun pada tahun 1592 M. Dimensi dari masjid ini adalah panjang 18,6 meter dan lebar 10,8 meter. Masjid ini dilengkapi dengan lima pintu dengan 3 menghadap ke timur dan masing masing satu kearah utara dan selatan, dengan ukuran masing masing pintu sebesar 125 cm untuk lebar dan ketinggian 190 cm dengan dominasi cat hijau dan utih.
Masjid yang terletak di Kecamatan Berbah Sleman terdapat makam Pangeran Porboyo I, II dan III beserta istrinya yang merupakan putra raja Mataram Islam Panembahan Senopati dan juga salah satu istri Panembahan Senopati yakni Nyai Lembayung yang merupakan putri dari Ki Ageng Giring III. Untuk dapat masuk ke komplek makam ini pengunjung atau peziarah harus melalui beberapa pintu gerbang yakni 1 Gerbang utama dan 4 buah pintu gerbang lainnya yang menghubungkan halaman makam dengan Masjid dan sebagai pintu masuk ke Area makam.
Masjid Kagungan Dalem Pajimatan Imogiri secara adminidtratif terletak di Dusun Payaman, Kalurahan Girirejo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Propinsi DIY. Masjid ini merupakan satu bangunan yang menjadi salah satu komponen dari keseluruhan kompleks Makam Raja-raja Mataram Imogiri.
Pelataran Masjid ini secara adminitratif sebenarnya masuk dalam wilayah Dusun Kedung Buweng, Kalurahan Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Propinsi DIY. Bahkan secara keseluruhan kompleks Makam Raja-raja Imogiri ini masuk ke dalam dua atau lebih dusun dan desa di Kecamatan Imogiri.
Masjid Kagungan Dalem Pajimatan Imogiri dapat dikatakan merupakan bangunan yang tidak begitu besa atau luas. Kompleks bangunan ini berukuran sekitar 9 m x 9 m. Awalnya bangunan ini dibangun dari bahan-bahan kayu jati dan tembok yang dibuat atas susunan batu bata dengan spesi atau lepa yang terbuat dari komposisi (adonan) berupa pasir, gamping (kapur), dan batu bata yang dihancurkan (digiling). Sebagai penutup atap bangunan dulunya digunakan genteng sirap. Dalam perkembangannya atap sirap digantikan dengan seng gelombang.
Masjid Sultan Cirebon terletak di Dusun Cengkehan, Giriloyo, Imogiri, Bantul merupakan salah satu masjid tua di Bantul. Masjid ini berdiri di atas sultan ground pada lereng bukit di kawasan kompleks makam-masjid Sultan Cirebon dan Pangeran atau Panembahan Juminah. Untuk mencapai masjid ini orang harus mendaki ratusan anak tangga sebagai jalan utama untuk menuju kawasan tersebut.
Diperkirakan pada waktu didirikan bangunan ruang utama masjid berbentuk joglo dengan luas 10 x 10 m, sedangkan bangunan serambi berbentuk limasan dengan ukuran 8 x 10 m. Namun arsitektur bangunan masjid ini secara keseluruhan diduga meniru atau berkiblat pada bangunan Masjid Gede Mataram di Kotagede.
Hal demikian dapat dilihat dari berbagai bagian masjid yang hampir secara keseluruhannya menyerupai Masjid Gede Mataram Kotagede. Mulai dari dari bangunan utama yang berbentuk joglo, bangunan serambi yang berbentuk limasan sampai dengan terdapatnya kolam yang digunakan untuk bersuci sebelum memasuki masjid.
Masjid di kompleks makam Giriloyo ini juga dilengkapi dengan mihrab. Mihrab berbentuk seperti penampil dengan langit-langit berbentuk setengah lingkaran. Mihrab ini berukuran 205 x 106 x 200 cm.
Di seputar masjid ini terdapat juga makam-makam yang terletak di bagian timur, barat, dan utara masjid dan makam tersebut merupakan makam baru. Makam tersebut merupakan makam penduduk setempat dan juga makam orang yang pernah menjabat juru kunci di komplek makam Giriloyo. (*)
Tulisan ini telah tayang di jogjaaja.com oleh Ties pada 04 Apr 2022