Halopacitan, Pacitan— Selama 17 hari para penari dan musisi ini melakukan pertunjukan di Melbourne untuk menghadiri undangan tampil di festival Butohout. Selanjutnya mereka juga tampil di Kota Rainbow untuk tampil dalam Oasis Rainbow The Embodied Landscape, sebuah festival pertukaran budaya yang melibatkan berbagai negara.
Rainbow adalah sebuah kota kecil di sebelah barat laut kota Melbourne, dengan penduduk kurang dari 500 orang.
Dalam tour yang dimulai 14 April 2018, SACPA membawa 17 personel yang terdiri dari delapan penari yg tergabung dalam group Breathing Forest Dance theater. Para penari adalah, Anes Ayu Pratiwik, Yasinta Wenda Mulasari, Ariesta Maharani, May Widhiyastuti, Umi Royani, Windiasari, Yuliani Tri Kusuma Ningsih, dan Fitria Dania Julianti.
Sedangkan tujuh musisi yang tergabung dalam Whiffling of The Forest Gamelan Ensemble (Johan Adiyatma Baktiar (komposer dan musisi), Aryasa Yusuf Pratama, Anang Setiawan, Adif Jamil Pradana, Ridwan Akhrin Nurun Naim, Diana Nur Hayati, Deasylina da Ary (asisten koreografer dan musisi); 1 orang administrasi dan manajemen (Anik Puji Rahayu) dan 1 orang pimpinan sekaligus koreografer dan sutradara dari karya ‘Dry Leaf’ karya utama dalam tour show ini (Agung Gunawan).
Agung Gunawan, pimpinan sekaligus koreografer dan sutradara SACPA mengatakan, tour show ini adalah hasil kerja keras selama dua tahun. Dedikasi, disiplin, tanggung jawab, dan profesionalitas dari tiap individu personil sangat dituntut.
“Ini bukan pekerjaan yang mudah mengingat mereka bukanlah seniman profesional, dan umur mereka yang masih muda (9-19 tahun),” katanya dalam siaran pers yang dikirim ke Halopacitan, Kamis, 10 Mei 2018.
Selama seminggu di Rainbow, SACPA tidak hanya mempertunjukkan karya ‘Dry Leaf’, juga karya-karya pendek seperti ‘Ruung Sarung’, ‘Songkrek’, ‘Mubeng Beteng’, ‘Ngremo’, ‘Jejer’, ‘Doremidosal’; tetapi juga akan memberikan Workshop ‘Tari Eklek’, workshop masakan Indonesia, dan juga terlibat di dalam forum-forum diskusi.
Ada juga workshop dan forum diskusi untuk karya ‘Pacitan (Model Pendidikan Seni Berorientasi Lingkungan)’ bersama anak-anak sekaligus orang tua warga masyarakat Rainbow, dan dipimpin langsung oleh Dr. Deasylina da Ary.
Dr. Deasylina da Ary, koreografer, penari, musisi SACPA, sekaligus dosen UNNES mengatakan bahwa workshop ini secara khusus diminta oleh direktur Rainbow, Dianne Dickson, untuk memberikan pengalaman langsung tentang kehidupan masyarakat Pacitan kepada masyarakat Rainbow."
Selain itu, di Rainbow SACPA juga mempunyai kesempatan untuk berinteraksi dengan komunitas Aborigin. Mereka akan berkolaborasi membuat sebuah karya yang bisa dikembangkan dikemudian hari (work in progress).
Lebih lanjut Deasy menjelaskan, sekolah-sekolah disana yang telah mendapat materi workshop dari SACPA masih penasaran dan ingin lebih mempelajari tari Eklek dan budaya Jawa yang kami bawa. Mereka sangat ingin datang dan berkunjung ke Pacitan, ke desa Pelem tempat SACPA, untuk belajar dan berinteraksi dengan masyarakat di Pacitan.
"Setelah tour dua kota tersebut, anak-anak SACPA kembali pulang ke Indonesia, saya dan mas Agung meneruskan perjalanan ke Tasmania, diminta untuk memberikan workshop dan pertunjukan di Moonah Art Center di kota Hobart, dan di Annexe Art Center, Universitas Tasmania di kota Launceston Tasmania. Kami pulang tanggal 7 Mei kemarin."ujarnya (Sigit Dedy Wijaya)