Halopacitan, Arjosari—Wilayah unik ini dikenal sebagai Ngendak yang merupakan bagian dari RT 4/RW 9, Dusun Krajan Kidul, Desa Temon, Kecamatan Arjosari Pacitan. Sebenarnya dalam satu RT tersebut ada sekitar 31 kepala keluarga,
Tetapi wilayah yang dikenal sebagai Ngendak di RT tersebut jaraknya terpisah cukup jauh dari dan hanya ada tujuh rumah yang letaknya bergerombol. Bangunan lain adalah sebuah masjid tua.
Sholekhan (50) warga asli Ngendak sekaligus tokoh setempat mengatakan, di wilayah ini paling banyak hanya ada 11 rumah, itupun hanya terjadi pada sekitar tahun 1967. Setelah itu rumah di Ngendak tidak sampai 10 rumah.
Daerah Ngendak terlihat dari jauh (Halopacitan/Sigit Dedy Wijaya)
"Sesepuh terdahulu pernah bercerita dari dulu paling banyak hanya 10-11 rumah saja, terakhir sekitar tahun 1967an itu ada 10 rumah, setelah itu hanya sekitar 7-9 rumah dan sekarang tinggal tujuh rumah," ujar Sholekhan Jumat, (14/09/2018)
Tujuh rumah tersebut di antaranya, milik Romli dan Malik berada di sisi utara Masjid Ngendak, kemudian sebelah selatan Masjid rumah Khoirudin dan Marwadi, di sebelah barat Masjid rumah Kateno dan Sholekhan, sementara rumah paling depan sebelum masuk ke Ngendak ada rumah Bambang.
Rumah pertama sebelum masuk daerah Ngendak (Halopacitan/Sigit Dedy Wijaya)
Berdasarkan cerita tutur ketika orang pertama dahulu babat alas di Ngendak dan mendirikan rumah, sudah ada sebuah jalan yang menghubungkan ke Dusun Randu Desa Gayuhan. "Jadi lebih dulu jalan dari pada rumah penduduk," terang Sholekhan.
Sedikitnya rumah di wilayah ini tidak lepas dari kepercayaan aneh. Konon, jika ada penghuni baru kerap ada kejadian janggal, baik itu merasa tidak betah bagi penghuni baru, sering cek-cok dalam rumah tangga dan sebagainya. Cerita lama itu masih saja dipercaya hingga sekarang.
Masjid tua yang ada di Ngendak (Halopacitan/Sigit Dedy Wijaya)
"Semua hanya cerita turun temurun, saya sendiri juga heran, kenapa rumah di sini tidak pernah tambah, yang sering hanya 7-8 rumah saja, kadang juga sembilan rumah. Kalau dilogika saja mungkin karena letaknya di tengah hutan," katanya.
Selain masjid tua dan rumah yang sedikit, di Ngendak juga didapati sebuah petilasan yang dikenal dengan sebutan pendedehan atau tempat berjemur. Menurut kepercayaan, tempat ini dulu sering digunakan oleh Mbah Nolosuto, leluhur wilayah tersebut dengan para ulama.
"Awalnya, dulu itu Mbah Nolosuto bersama para ulama menyeberang sungai terus merasa kedinginan, kemudian membuat tempat pendedehan di situ, dan sampai sekarang sering didatangi pengunjung untuk berdoa," jelasnya.
Pendedehan (Halopacitan/Sigit Dedy Wijaya)
Pendedehan berbentuk lingkaran yang di sampingnya ditata bata merah namun di tengahnya hanya dibiarkan tanah yang bercampur bebatuan kecil.
Pengunjung yang datang ke Ngendak ini, berasal dari berbagai daerah, selain untuk bermunajat, ziarah dan istighosah. Sholekhan mengaku pendedehan tersebut pernah disalahgunakan oleh pengunjung yang datang.
Sholekhan, salah satu warga yang tinggal di Ngendak (Halopacitan/Sigit Dedy Wijaya)
"Pernah dulu kejadian orang dari Jawa Tengah, sore-sore pas gerimis ke sini, saya lihat dari kaca rumah mengeluarkan kemenyan sekepal tangan mau dibakar, langsung saya dekati, saya tanya katanya mau berdoa minta nomor. Terus terang saya larang dan saya nasihati karena di sini bukan tempatnya, kemudian terus pergi orangnya," imbuhnya. (Sigit Dedy Wijaya).