Agus Sudarmadji
Halo Berita

Aneka Jaya, Agus Sudarmadji dan Kisah Kehidupan dalam Roda Bus

  • Bus Aneka Jaya sudah puluhan tahun menjadi bagian hidup masyarakat Pacitan. Tetapi banyak yang tidak tahu bagaimana Agus Sudarmadji harus jatuh bangun untuk membangun dan mempertahankan perusahaan otobus miliknya tersebut.

Halo Berita
AZ

AZ

Author

Halopacitan, Pacitan—Agus Sudarmaji muda harus mengubur dalam-dalam keinginannya untuk merasakan bangku kuliah. Setelah lulus dari sebuah SMA di Surabaya, dia dipanggil pulang oleh bapaknya.

"Saya cuma lulusan SMA di Surabaya, dulu mau kuliah tidak boleh, disuruh bantu-bantu usaha orang tua. Bapak dulu bilang sebenarnya bisa membiayai kuliah saya, tapi adik-adikmu bagaimana,"  kenang pria kelahiran 9 Juli 1956 tersebut saat ditemui Halopacitan Kamis, (02/07/2018).

Menurutnya tahun-tahun di mana dia setelah lulus SMA yakni sekitar 1975 ekonomi keluarganya mengalami sedang dalam masa-masa sulit.

Agus Sudarmadji, adalah anak ke lima dari sembilan bersaudara. Dia lahir dan besar di keluarga yang memang memiliki mental dan jiwa pengusaha. Orang tuanya memiliki usaha bus dan pedagang kebutuhan pokok.

Usaha bus tersebut sebenarnya hanya sampingan, karena lebih utama sebagai pedagang sembako dengan mencari barang dagangan ke Solo menggunakan becak dan terkadang menggunakan jasa angkutan truk. Karena jasa transportasi pada waktu itu masih sulit.

"Anak sekarang kalau diceritakan tidak akan percaya, dulu waktu mencari dagangan itu naik becak ke Solo ke Pasar Legi, Pasar Gede, membawa sekampluk (sekarung) uang untuk belanja, kadang naik truk itupun jarang ada, dan kalau ada pasti juga penuh dengan dagangan," kata pria yang akrab dipanggil Madji tersebut.

Karena hanya sampingan, usaha bus orangtuanya diserahkan ke saudaranya untuk dikelola. Sayangnya, tidak ada perkembangan tetapi malah mengalami kemerosotan. Dari semula memiliki enam armada,  kemudian hanya tersisa dua bus.

Tantangan ini yang dihadapi Madji  setelah lulus SMA tahun 1975. Sekembalinya dari Surabaya, dia langsung bekerja keras untuk membangkitkan lagi usaha transportasi yang dirintis orang tuanya.

Dari modal dua bus yang masih tersisa tersebut, ia pun memulai menjalankannya dengan sepenuh hati, penuh tanggungjawab dan penuh ketekunan, sembari membantu orang tua mencari dagangan ke Solo untuk mengisi kios sembako.

"Kalau pas pasaran Wage,  saya selalu pinjam uang ke tetangga untuk belanja ke Solo, karena modalnya dari awal pun tidak instan, dan keuangan pun harus terus berputar," katanya.

Sedikit demi sedikit ia pun mulai menyukai dan memahami dunia yang dia jalani. Dia semakin paham bagaimana sebenarnya lekuk-lekuk bisnis di dunia transportasi.

Akhirnya ia memberanikan diri untuk menambah armadanya dengan membeli bus bekas secara kredit dari seorang pengusaha di Surabaya. Dengan hati-hati dia terus bekerja. Setelah bus itu lunas, ia mengambil bus lagi dengan cara yang sama, begitu seterusnya.

Kerja kerasnya membawa hasil.  Sekarang perusahaan yang beralamat di RT 02/RW 01 Dusun Pager Desa Arjowinangun, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

tersebut memiliki 70 bus lebih dengan jumlah karyawannya mencapai 150 an orang. "Paling banyak trayek ke Solo ada 40, tapi yang masih jalan separuh lebih dan tidak semuanya jalan, karena penumpang juga menurun," imbuhnya.

Garasi Bus Aneka Jaya (Sumber: Halopacitan/Sigit Dedy Wijaya)

Pria 62 tahun ini menuturkan, sekitar tahun 1990 dia memberanikan diri meminta kepada orang tuanya untuk memisahkan diri dan membangun usaha sendiri. Tekadnya dia harus bisa mandiri dan  supaya ingin kelihatan bagaimana perkembangan ke depannya,

Orang tuanya tidak keberatan. Usaha bus sempat dipercayakan kepada seseorang, dan dia hanya memantau dan melihatnya. Namun setelah ia amati beberapa lama tidak ada perkembangan, dan justru semakin hari semakin amburadul serta utang pun menumpuk. Tidak mau kondisinya semakin buruk, dia pun langsung mengambil kendali lagi usaha tersebut.

"Kejadiannya sekitar 10 tahun lalu. Sejak saat itu keuangan langsung saya pegang sendiri, mulai saya tata lagi dari awal dan saya pegang hingga sekarang," katanya.

Apakah setelah itu semua berjalan tanpa hambatan? Tentu saja tidak. Laksana ban bus yang berputar, usaha Agus pun juga melewati jalan yang naik turun bahkan terjal.

Mulai tahun 2015 dan 2016, menurutnya, adalah tahun-tahun terberat dalam usaha yang dijalaninya, karena adanya penurunan pendapatan yang cukup drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya. Bahkan dia terpaksa menjual beberapa bidang tanah miliknya untuk menutupi keuangan di perusahaannya.

"Bukan cuma saya saja yang merasakan seperti ini, teman-teman saya yang di Ponorogo dan di Surabaya juga mengalami hal yang sama, penumpang semakin menurun, mungkin sudah banyaknya jasa transportasi, sehingga mengalami penurunan," paparnya.

Pada tahun 2017, lanjutnya, sebenarnya keuangannya pun sudah mulai membaik dan sudah stabil. Tapi sejak awal tahun 2018 hingga saat ini,penurunan masih terjadi. Bahkan sulit untuk mendekati kondisi stabil.

"Bayangkan saja, setoran dari satu bus, yang rata-rata Rp200.000 hingga Rp600.000 , untuk beli ban saja tidak cukup belum untuk gaji karyawan dan lainnya," ungkapnya.

Dia mengakui persaingan pada jasa transportasi di Pacitan semakin banyak dan berkembang, namun dengan kondisi yang dialaminya sekarang, ia pun masih bersyukur bisa bertahan. Kuncinya adalah keuletan dan ketekunan dalam segala situasi.

"Jasa transportasi di Pacitan semakin banyak, bisa bertahan sampai saat ini saja sudah alhamdulillah, dan insyaallah kalau kita tekun, prihatin, dan juga hati-hati pasti ada cara keluar dari kesulitan, karena dulu orang tua juga sering menasihati begitu," terangnya

Sekarang,  Agus hanya mengelola Bus saja baik jurusan ke Surabaya, Solo, Jakarta, hingga Pekanbaru.  Sementara usaha toko sembako dikelola saudara-saudaranya.

Seperti kehidupan, roda-roda busnya terus bergerak menyusuri ribuan kilometer jalan. Melintas jalur yang berkelok, naik turun, tetapi juga tak jarang jalur lurus yang tenang. Tidak ada yang mudah, tetapi selama dijalani dengan ulet,seseorang akan sampai di tujuannya.  (Sigit Dedy Wijaya)