Halopacitan Punung— Sudah 12 tahun Tuntas Suprihatingsih, S.Pd menjadi guru honorer di Sekolah Luar Biasa di SMPLB Tunas Bangsa Punung. Berbagi suka-duka pun dilalui.
Selain sebagai guru yang mengajar tuna rungu, tuna grahita, tuna laras, tuna daksa, perempuan yang akrab dipanggil Naning itu juga mengajar keterampilan kepada anak-anak berkebutuhan khusus ini seperti mengajar, memasak, menjahit,menari dan lain sebagainya.
"Mengajar dan mendidik anak kebutuhan khusus ini tidak sesulit dengan apa yang dibayangkan, sebelum mencoba dan mengalaminya sendiri. Banyak guru-guru yang berlatar pendidikan umum juga mengajar di SLB ini, awalnya mereka pun juga menganggap itu sulit, setelah mencobanya justru bapak ibu guru penasaran dengan keanekaragaman jenis kecacatan itu, dan merasa berat jika meninggalkan anak-anak tanpa ada bekal yang bisa mereka bawa."
Wanita kelahiran Pacitan, 17 juli 1985 ini sebelumnya sempat mengajar di sekolah umum beberapa tahun. Namun karena merasa terpanggil dan merasa sangat diperlukan oleh anak berkebutuhan khusus, maka ia putuskan untuk mengajar di SLB.
Ibu satu anak ini juga mengatakan butuh kesabaran ekstra untuk mengajar anak didiknya. Dia mengaku awal-awal mengajar di SLB karena belum beradaptasi masih sering mengusap dada. Sulit mengajak mereka fokus, mengingat dan bahkan untuk diam.
Tuntas Suprihatingsih (Sumber: Halopacitan/Sigit Dedy Wijaya)
“Kalau ditanya nama jawabnya lain-lain, hari ini diajarkan besok sudah lupa, jangankan besok selang beberapa menit saja sudah lupa, bahkan ada yang duduk di meja, ada yang suka gangguin temennya dan lain sebagainya,” kenangnya saat ditemui Halopacitan Senin 5 Maret 2018.
Tetapi secara pelan dia mulai beradaptasi dan bisa menjalani dengan bahagia. “Ibaratnya orang tua, momong anak sendiri, ketika anak belum bisa apa-apa kemudian menjadi bisa orang tua juga senang." jelasnya saat ditanya suka dukanya.
Bukan hanya kesabaran tinggi karena menghadapi anak didiknya, wanita ini juga harus sangat sabar dalam urusan pendapatan. Sebagai guru honorer dia menerima Rp150.000 per bulan. Semua diaia jalani dengan ikhlas demi ibadah.
Yang jelas dia mengaku ada kebahagiaan tersendiri ketika melihat perkembangan anak berkebutuhan khusus ini, dari belum bisa menjadi bisa, dari belum tahu menjadi tahu.
“Kalau di sekolah umum hal itu sudah biasa, berbeda dengan di SLB. Di sini kita betul-betul diperlukan oleh anak-anak untuk membuat mereka mandiri terutamanya."
Dia berharap agar kelak anak berkebutuhan khusus ini bisa lebih mandiri,terampil, bisa diterima dan dihargai di masyarakat, layaknya anak normal lainnya."pungkasnya (Sigit Dedy Wijaya)