PACITAN-Pacitan memiliki tradisi unik bernama Ceprotan. Tradisi asli Desa Sekar, Donorojo ini sangat atraktif dengan dua kelompok pemuda saling lempar.
Benda yang dilempar pun bukan asal-asalan. Melainkan berupa buah kelapa muda jenis cengkir yang telah direndam selama beberapa hari. Pada bagian sabut kelapa juga harus dikupas bersih sebelum digunakan untuk saling melempar.
"Jadi tradisi Ceprotan itu sudah ada sejak turun temurun terutama menyangkut tokoh Kaki Godhek yang babat alas Desa Sekar," kata Ketua Lembaga Adat Desa Sekar, Agus Senin (29/03/2022).
Agus mengatakan ceprotan berlatarbelakang Kerajaan Jenggala. Cerita jaman itu mengkisahkan ada seorang pria asal Desa Kalak bernama Kaki Godhek. Tokoh yang dikenal sakti mandraguna itu memutuskan membuka permukiman baru.
Pada saat itu dirinya tengah membersihkan hutan. Tujuannya untuk dijadikan hunian. Pada saat bersamaan datanglah seorang putri bernama Dewi Sekartaji. Perempuan bernama asli Galuh Candrakirana itu tengah berkelana.
"Dewi Sekartaji kehausan setelah melakukan perjalanan jauh. Lalu minta minum berupa kelapa muda," kata Agus
Kaki Godhek pun langsung menyanggupi permintaan putri yang sejak awal diketahuinya sebagai bangsawan. Hanya saja dirinya meminta sedikit waktu. Pasalnya di sekitar tempat itu tak ada pohon kelapa.
Langkahnya langsung tertuju ke pesisir selatan. Seperti diketahui sepanjang kawasan pantai Pacitan memang merupakan daerah penghasil kelapa. Uniknya, dalam sekejap Kaki Godek sudah kembali dengan membawa buah kelapa.
"Namanya orang dulu kan sakti-sakti ya. Jadi meskipun jaraknya jauh bisa ditempuh cepat," ,kata Agus
Karena buah kelapa itu Dewi Sekartaji senang bukan kepalang. Ini setelah keinginannya meminum air kelapa terwujud. Hanya saja karena volume air kelapa cukup banyak, sang putri tak mampu menghabiskan. Dewi Sekartaji lantas meletakkan tempurung yang masih ada airnya tak jauh dari tempatnya duduk.
Tempat diletakan tempurung itu kelak keluar sumber air yang masih terpelihara hingga saat ini. Sementara, sebelum melanjutkan pengembaraannya Dewi Sekartaji meninggalkan pesan. Yakni agar momen tersebut diabadikan dengan peringatan menggunakan perantaraan buah kelapa.
"Pesan lain dari Dewi Sekartaji agar lahan permukiman itu diberi nama Sekar. Jadi Ceprotan itu sendiri memang ada kait hubungannya dengan asal usul Desa Sekar," kata Agus.
Kembali pada asal muasal upacara adat Ceprotan. Sejak peristiwa tersebut, warga rutin menggelar ritual setahun sekali. Salah satunya dengan membuat sesaji berupa ayam ingkung dan meletakkannya di lokasi sumber air.
Suatu ketika ayam ingkung yang telah disiapkan untuk sesaji diambil orang dan dibawa lari. Warga yang mengetahuinya lantas beramai-ramai mengejar dan melempari pencuri tersebut. Kejadian inilah yang kemudian menjadi tonggak digelarnya upacara adat Ceprotan.
Kelapa muda dalam istilah setempat disebut Cengkir. Kependekan dari Kencenging Pikir. "Jadi nilai yang bisa dipetik adalah pentingnya menjaga kegotongroyongan. Sehingga semua ancaman dan gangguan bisa diatasi bersama,” kata Agus.
Tradisi Ceprotan sendiri telah menjadi agenda tahunan. Tepatnya saat ritual bersih desa. Yakni tiap hari Senin Kliwon, bulan Longkang dalam kalender Jawa. Event budaya itu bahkan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda sejak 2017 lalu.
Pegiat budaya Johan Perwiranto menyebut lahirnya Ceprotan tak lepas dari kepiawaian para pujangga zaman dahulu. Ini tampak dari balutan kisah Panji di dalamnya. Terlepas dari benar atau tidaknya cerita yang ada, namun tradisi yang ada makin memperkaya khazanah budaya Kota 1001 Gua.
Tokoh yang aktif di sanggar seni 'Jagrak' ini pun mendukung upaya lembaga adat untuk membakukan tata cara perayaan budaya tahunan itu. Sebab selain kental dengan nilai tradisi, Ceprotan selama ini juga selalu menyedot perhatian wisatawan.
"Saya kira kalau bicara upacara adat, Pacitan itu banyak sekali. Beberapa di antaranya berlatarbelakang cerita Panji. Salah satu yang begitu dikenal adalah Ceprotan," pungkasnya.