Deasylina da Ary
Halo Budaya

Deasylina da Ary, dari Pacitan untuk Dunia

  • Namanya tidak terpisahkan dari dunia seni. Perempuan asal Pacitan ini juga telah melanglang dunia dengan karya seni yang mengeskplorasi gerak alam dan masyarakat Seribu Satu Goa ini.

Halo Budaya
AZ

AZ

Author

Halopacitan, Pacitan— Deasylina da Ary baru saja kembali ke Indonesia setelah melakukan tur selama 17 hari dengan para penari dan musisi di Melbourne dan Rainbow Australia. Dari negeri Kanguru tersebut dia dan suaminya, Agung Gunawan, langsung terbang ke Tazmania untuk memberikan workshop dan pertunjukan di Moonah Art Center di kota Hobart, dan di Annexe Art Center, Universitas Tasmania di kota Launceston

Deasylina da Ary, lahir di Pacitan dalam keluarga pendidik. Putra sulung dari dua bersaudara ini belajar menari sejak berusia lima tahun, di sanggar milik ayahnya, Pradapa Loka Bhakti (PLB). Sanggar yang terletak jalan Punung-Gondosari Km 6,5, Dusun Krajan, Desa Pelem, Kecamatan Pringkuku, Pacitan, Jawa Timur ini sekarang dikembangkan menjadi Sampang Agung Center for Performing Art (SACPA).

Bakat seni yang mengalir pada perempuan kelahiran  1981 ini kemudian digembleng saat dia menempuh pendidikan di Jurusan Pendidikan Seni, Drama, Tari dan Musik (Sendratasik) Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Di tempat inilah dia semakin meyakini seni adalah jalan hidupnya. Selama menjadi mahasiswa dia terlibat dalam berbagai acara budaya dan juga menjabat sebagai Ketua Unit Kegiatan Tari selama dua periode (2000-2002).

Belum berhenti menimba ilmu, setelah menyelesaikan studi S1, dia melanjutkan kuliah di program pasca sarjana di Institut Seni Indonesia Surakarta, dan memperoleh gelar Magister Seni pada tahun 2007. Berbagai workshop dia ikuti untuk terus mengasah kemampuan seninya termasuk mengikuti workshop Lin Hwai Min pada tahun 2007.

Sejak tahun 2008 Deasy kemudian mengajar mata kuliah Pendidikan Seni di Universitas Negeri Semarang, Fakultas Ilmu Pendidikan, Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Pada tahun 2014, dia mengambil program Doktoral di Institut Seni Indonesia Surakarta. Dengan karya seni Pacitanian (Model Pendidikan Seni Berorientasi Lingkungan), mengantarkannya memperoleh gelar doktor pada Januari tahun 2017.

Karya-karyanya pun telah dipentaskan di berbagai festival baik lokal, nasional, maupun internasional.  Beberapa karya monumental hasil ciptaannya adalah "Ruung Sarung" yang menyabet gelar penyaji dan piñata terbaik dalam Parade Tari Nusantara 2005. Dia juga memboyong sembilan tropi yang diperebutkan.

Karya lain adalah “Lekoh” (Indonesian Dance Festival di TIM Jakarta tahun tahun 2006), “Pasar Krempyeng”  (2007), “Rumah Pintar” yang menjadi penyaji dan penata tari terbaik Festival tari anak Pacitan dan diundang dalam Jogja Java Carnival Yogyakarta 2008.

Karya lainnya “Surup” sebagai penyaji terbaik dan penata tari terbaik tingkat nasional pada Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) pada tahun 2009, “Kidung Beber” Penyaji terbaik dan penata tari terbaik FLS2N Surabaya tahun 2013.

Selain itu juga, Dia pernah terlibat dalam “Opera Diponegoro” karya Sardono W Kusumo 2008 dan 2012, “Kembang Ati” Duet Dance bersama Agung Gunawan di Melaka Art dan Performance Festival Malaysia 2012 dan Tong Tong Festival - Netherland tahun 2013. “Pangkur” Duet Dance bersama Agung Gunawan di Melaka Art dan Performance Festival Malaysia 2013, “Mimpi” Duet Dance bersama Agung Gunawan di Tong Tong Festival - Netherland 2015.

Satu hal yang dia pegang dalam berkarya adalah pesan ayahnya bahwa apa yang diciptakan harus beda.|  “Kita itu berbeda, kalau kita buat tarian ayu-ayuan, kita akan kalah dengan penari-penari dari daerah atau sanggar atau lembaga lain.”

Makna yang terkandung dalam pesan tersebut kurang lebih adalah kami (Pradapa Loka Bhakti) hidup di daerah pegunungan. “Lingkungan alam yang membuat gerak tubuh kami menjadi unik dan khas.”

Maka karya-karya yang kami buat selalu mengambil inspirasi dari lingkungan alam maupun kehidupan masyarakat. Proses eksplorasi gerak yang dilakukan adalah mencoba terus menggali gerak-gerak yang dibentuk oleh lingkungan kami yang mungkin bagi orang lain yang melihatnya menjadi gerak yang unik atau bahkan aneh.

Deasy yang kini tinggal di Klaten Jawa Tengah ini pun mendapat dukungan penuh dari Agung Gunawan, suami, seorang koreografer sekaligus pimpinan SACPA. Dan untuk Project Ke Australia itu, juga melalui koneksi dari Agung Gunawan di dunia seni pertunjukan internasional.

Deasy menjalani hidup dengan mobilitas tinggi. Selama 3 - 4 hari ia berada di Semarang untuk mengajar di Unes. Sementara pada hari Minggu, Deasy beserta suami juga berada di Desa Pelem Pacitan untuk membangun sanggar dengan latihan rutin. (Sigit Dedy Wijaya)