
Di Tengah Sulitnya Keadaan, Pande Besi Mencoba Bertahan
Besi membara segera diangkat dari tungku api dan diletakkan di sebuah landasan. Dengan mantap Sinto kemudian menggerakkan palunya menghantam besi tersebut berulang-ulang. Suara khas besi beradu segera mengumandang berbaur dengan percikan api.
Halo Berita
Halopacitan, Pacitan—Sinto menghentikan ayunan palunya. Diangkatnya cangkul yang dia tempa itu, dipandanginya sejenak sebelum kemudian dimasukkan ke dalam air hingga asap tebal mengepul dari ember air.
“Tidak bisa sembarang memukul, harus benar-benar tepat,” katanya sembari memandang besi tempaanya dan kembali dimasukkan ke dalam tungku api. Istrinya, kemudian menggerakkan pompa khusus yang membuat nyala api membesar membakar besi tadi.
Sinto adalah satu dari sedikit pande besi yang masih mencoba bertahan saat ini. Laki-laki berusia 54 tahun warga di RT 02, RW 04 Dusun Bedayu, Desa Bolosingo, Pacitan itu mulai merintis usahanya sejak 1990.
"Awalnya hanya membuat alat-alat pertanian untuk sendiri, juga menajamkannya lama-kelamaan tetangga menyuruh membuatkan cangkul, sabit dan keterusan sampai sekarang," ujar Sinto saat ditemui Halopacitan di sela-sela dia bekerja Kamis (13/12/2018).
Dengan memanfaatkan lahan di selah timur rumahnya, ia dibantu istri membuat alat pertanian tradisional tersebut. Peralatan yang digunakannya juga cukup sederhana, seperti palu, pembelah bahan, penjapit yang berbentuk seperti gunting, tungku pemanas dengan bahan bakar arang.
Alat-alat yang dia buat bukan untuk di pasarkan dalam jumlah besar, melainkan hanya pesanan dari para petani setempat maupun luar desa. Sedangkan upah yang diperoleh untuk membuat peralatan pertanian, seperti sabit ukuran kecil Rp30.000, besar Rp50.000, cangkul Rp250.000. "Kalau bahan dari pelanggan ya beda harganya," jelas Sinto.
Dia mengakui, peminat petani untuk membuat alat-alat pertanian melalui jasa pande besi, dari tahun ke tahun semakin menurun seiring banyaknya produk-produk pabrikan yang dijual di pasaran.
"Sebelum tahun 2000an cukup banyak peminat, setiap hari itu selalu ada orang yang pesan, kadang 3-5 orang, pernah menumpuk dan sampai empat hari baru dikerjakan. Kalau sekarang ya ada tetapi tidak sebanyak dulu, seminggu itu kadang ada 2-3 orang saja, itupun orang tua-tua," katanya.
Peminat anak muda saat ini untuk menekuni usaha pande atau belajar pande menurutnya sudah tidak ada, bahkan anaknya pun memilih untuk mencari pekerjaan lain dari pada meneruskan usahanya, sehingga ia tidak memiki penerus ketrampilan yang dimilikinya. "Anak saya pilih jadi tukang bangunan," ungkapnya.
"Kalau pas sepi pesanan, tetap bertani lagi ke ladang, menanam singkong, kadang padi kalau musim hujan," tambah Mesratun (51), istri Sinto.
Sinto kembali mengambil besi yang telah membara dari tungku api dengan penjepit dan kembali membentuknya dengan pukulan-pukulan keras palunya. Tak dirasakan percikan api berhamburan ke tangannya. Dia terus menempa meski tak tahu sampai kapan dia bisa bertahan di tengah sulitnya keadaan
