Halopacitan, Pringkuku—Cara tradisional yang masih digunakan salah satunya adalah menggunakan garu atau alat membajak sawah dari besi dengan gigi berjumlah enam yang di atasnya ditaruh benda pemberat, seperti tiga batang pisang sepanjang sekitar 60 centimeter.
Penarik bajak bukan hewan seperti sapi atau kerbau, tetapi manusia yang menarik garu dengan tali terikat di pinggangnya. Cara ini sudah cukup efektif untuk membongkar dan membalik tanah sebelum ditanami.
"Lebih cepat dan praktis dibandingkan menggunakan sapi, karena tanahnya belum begitu tergenang air. Masyarakat di sini awal musim hujan tanam padi jenis gogo. Nanti kalau sudah sering hujan atau setelah tanam ini, membajaknya pakai kerbau," katanya Senin (12/11/2018).
Cara menanamnya berbeda dengan tanam padi pada umumnya, cara tanamnya seperti tanam kedelai, yakni hanya di taburkan sekitar 4-5 biji ke dalam area yang telah dibajak dengan jarak sekitar 10-15 centimeter. Jika sawah biasa menanamnya dengan berjalan mundur, maka kalau padi gogo berjalan maju.
"Benihnya dari Dinas Pertanian, setiap petani mendapat 2,5 kilogram. Kalau tidak cukup ya pakai benih dari hasil panen sebelumnya, setelah ditabur benihnya nanti ditimbun menggunakan kotoran kambing," terang Bambang (53), menantu Paijo.
Selain menggunakan alat tradisional menggunakan garu dalam membajak sawah, warga setempat ada juga yang menggunakan taju, alat yang terbuat dari batang pohon yang dibuat seperti tombak dengan panjang sekitar 160 centimeter. Cara menggunakannya hanya membuat lubang pada tanah sedalam lima centimeter, sebelum diisi benih padi. Setelah itu juga ditimbun dengan kotoran hewan yang sudah mengering.
"Biasanya yang pakai taju orang perempuan. Kalau panennya hampir sama dengan jenis padi lainnya, sekitar tiga bulan," imbuh Bambang.