Halopacitan, Pacitan-Petilasan tersebut berada di RT01 RW02, Dusun Duduhan, Desa Mentoro, Kecamatan Pacitan. Di area tersebut terdapat dua batu lumpang yang dulu dipakai masyarakat untuk menumbuk kopi, palawija dan hasil pertanian lainnya.
“Juga disana terdapat batu kethu yang mitosnya jika ada yang berhasil mengangkat katanya segala kemauan atau keingginan akan berhasil," ungkap pak Kadiman, mantan Kamituo atau Kasun Dusun Duduhan yang sekarang umur 88 tahun
Petilasan itu terletak di pinggir kali yang lerengnya longsor pada November 2018 lalu hingga jika tidak segera dibenahi maka bisa terancam lenyap karena longsor susulan masih sering terjadi. Untuk sementara satu lumpang sengaja dipindahkan agak jauh dari tebing sungai mengingat tebing pinggir sungai.
Petilasan ini dulunya pernah direnovasi oleh pondok pesantren Tremas dan untuk mengabadikan kehadiran Syekh Maulana Malik Magribi, namanya juga digunakan sebagianya nama jalan antara Menadi-Mentoro.
Siapa sebenarnya Maulana Malik Magribi? Dia adalah salah satu tokoh penting dalam awal penyebaran Islam di bumi nusantara. Malik Magribi menjadi satu dari sembilan Walisanga gelombang pertama yang datang ke Indonesia.
Sejarha awal Walisanga bisa dilihat di kitab Kanzul ‘Hum yang ditulis oleh Ibn Bathuthah yang kini tersimpan di Museum Istana Turki di Istanbul. Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa Walisongo dikirim oleh Sultan Muhammad I sebagai penguasa kekhalifahan Usmaniah.
Awalnya, pada tahun 1404 M atau 808 H dia mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah yang isinya meminta dikirim sejumlah ulama yang memiliki kemampuan di berbagai bidang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa.
Jadi, Walisongo sesungguhnya adalah para dai atau ulama yang diutus khalifah di masa Kekhilafahan Utsmani untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Dan jumlahnya ternyata tidak hanya sembilan (Songo). Ada banyak yang dikirim ketika salah satu yang sembilan wafat untuk menjaga jumlahnya tetap sembilan.
Sembilan orang wali yang datang pertama tersebut adalah Maulana Malik Ibrahim dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, dan Syekh Subakir dari Persia serta Maulana Muhammad al-Maghrabi yang berasal dari Maroko
Jika Maulana Malik Magribi pernah berada di Pacitan adalah hal yang wajar mengingat dakwah wali kala itu dilakukan dengan terus berpindah-pindah tempat. Juga masuk akal jika kemudian Pacitan berkembang menjadi salah satu kota santri di Indonesia dengan banyaknya pondok pesantren yang ada di wilayah ini, salah satunya yang paling tua adalah Ponpes Tremas.
Tidak diketahui di mana makam pasti dari Maulana Malik Magribi. Ada banyak tempat yang diyakini sebagai peristirahatan terakhir tokoh tersebut.
Tidak juga diketahui kapan Malik Magribi wafat. Berdasarkan sejumlah catatan Maulana Malik Magribi masih ada dalam kelompok Walisanga gelombang ketiga sekitar tahun 1463 Masehi. Di gelombang ketiga ini Walisanga terdiri dari Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan, Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim, Maulana Ahmad Jumadil Kubro asal Mesir, Maulana Malik Al-Maghrabi, asal Maroko, Sunan Kudus, asal Palestina, Sunan Gunung Jati, asal Palestina, Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim, Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim, dan Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim.
Pada periode ketiga ini kemudian Maulana Malik Magribi dan Mualana Jumadil Kubro wafat yang kemudian masuk ke periode keempat dengan munculnya dua wali pengganti yakni Raden Fattah yang merupakan raja Demak dan Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon. dakwah Walisanga sendiri dibagi menjadi enam gelombang hingga 1479 Masehi.
Jika petilasan ini hanyut maka yang hilang bukan sekadar batu, tetapi jejak Magribi di Pacitan juga hanyut. Hal ini akan menjadi kerugian sendiri, karena Pacitan akan kehilangan salah satu bagian penting dari sejarahnya.
“Semoga warga ada yang masih peduli terhadap peninggalan sejarah tersebut karena sekarang terancam hilang di makan zaman," kata Slamet Hermawanto, Kepala Urusan kesra Desa Mentoro. (Muhamad Arief Wicaksono)