Pemerintah kembali mengalami tantangan berat. Lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia beberapa waktu ini memiliki potensi mengubur mimpi pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8,3% year on year (yoy) pada kuartal II-2021.
Data Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 menyebut kasus positif di Indonesia mencapai 9.944 pada Rabu, 16 Juni 2021. Indonesia bahkan masuk ke peringkat delapan negara dengan kasus positif COVID-19 tertinggi di minggu kedua Juni 2021 dengan total kasus 55.320 menurut data WHO per 15 Juni 2021.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut target pertumbuhan ekonomi pemerintah semakin sulit tercapai bila akhirnya kebijakan pengetatan mobilitas masyarakat kembali diberlakukan.
Menurutnya, lonjakan kasus COVID-19 ini merupakan buah dari inkonsistensi kebijakan pemerintah.
“Contohnya, tempat wisata yang dibuka terlalu dini pada waktu libur lebaran, hasilnya kasus harian naik, terus yang rugi siapa? pelaku usaha juga, ritel terdampak,” kata Bhima seperti dilansir dari Trenaisa.com, Kamis, (17/6/2021)
Kondisi ini dikhawatirkan mematahkan tren kenaikan indeks keyakinan konsumen (IKK) yang sudah mencapai level optimis, yakni 104,4 pada Mei 2021. Bhima mengatakan kondisi konsumsi masyarakat bisa kembali ke level awal pandemi bila pemerintah tidak segera menanggulangi penyebaran virus COVID-19.
“Kalau ada pengetatan mobilitas karena kasus naik yang rugi juga pelaku usaha retail, logistik, sampai warung pinggir jalan karena turunnya minat masyarakat belanja,” ujar Bhima.
Manuver intervensi kebijakan pemerintah pun dirasa Bhima sudah tidak tepat dengan kondisi COVID-19 di Indonesia saat ini. Alih-alih meneruskan diskon Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) 0% mobil baru, Bhima mendorong pemerintah untuk melirik “jeritan” sektor ritel yang masih menunggu stimulus.
Ritel ini, kata Bhima, menjadi sektor yang paling awal terdampak bila mobilitas masyarakat kembali diperketat. Hal ini lah yang bisa membawa kiamat ritel terjadi di Indonesia.
“Stimulus paling mudah ke ritel itu menurunkan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) seperti yang dilakukan di Inggris dan Jerman, harga barang jadi lebih terjangkau oleh konsumen. Bukan sebaliknya ya justru naikan tarif PPN bahkan memperluas objek PPN,” kata Bhima.
Senada, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan ritel modern berformat besar paling terdampak selama pandemi COVID-19.
“Formatnya yang besar berarti harga sewanya besar. Kalau jumlah pengunjungnya dibatasi dan pendapatannya turun, untuk bayar beban sewa saja sudah berat,” ujarnya kepada Trenasia.com beberapa waktu lalu.
Benar saja, ambil contoh ritel berformat hypermarket Giant milik PT Hero Supermarket Tbk (HERO) mulai berguguran sejak 2020 lalu.
Pada tahun ini, HERO berencana menutup Giant seluruhnya pada 31 Juli 2021 dengan beberapa gerai rencananya diubah menjadi lini bisnis lain HERO seperti Ikea dan Hero Supermarket.
Hal serupa menimpa PT Matahari Department Store Tbk (LPPF). Ritel department store pertama kali buka sejak 1958 ini menutup 25 gerai miliknya sepanjang 2020.
Hingga Mei 2021, Matahari tercatat menutup 13 gerai lagi. Meski begitu, Matahari milik konglomerat Grup Lippo Mochtar Riady ini masih dapat bertahan tanpa ada rumor penutupan seluruhnya seperti Giant. (RCS)