Dahsyatnya kata-kata, bisa bermakna positif dan juga negatif. Tidak disadari bahwa kata-kata yang terlontar secara langsung maupun yang diunggah dalam pesan WA atau obrolan di media sosial tidak jarang menyakiti termasuk pada kelompok rentan. Hal inilah, salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian lebih di Pacitan, karena kekerasan verbal terhadap kelompok rentan termasuk perempuan dan anak-anak juga menimbulkan efek psikologis yang luar biasa.
Berdasarka data dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) KBPP Kabupaten Pacitan, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mendominasi kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Pacitan selama tahun 2021. Hal yang sama juga terjadi pada tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2020.
Kepala Dinas KBPP Kabupaten Pacitan, dr. Hendra Purwaka menyampaikan, “Sejak Januari-November 2021 terjadi sebanyak 20 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, 13 diantaranya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sedangkan sepanjang tahun 2020 lalu dari total jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak, 17 di antaranya kasus kekerasan.
Lebih lanjut Hendra menyampikan bahwa selain kasus KDRT yang dialami perempuan di Pacitan dari tahun ke tahun yakni, pencabulan, persetubuhan anak, pornografi, pembuangan bayi, anak konflik dengan hukum dan kenakalan anak. Selain itu, orang nomor satu di Dinas KBPP tersebut juga menyayangkan kekerasan verbal belum mendapatkan porsi penanganan yang seimbang dengan kekerasan fisik.
“Saya sedikit menyayangkan, definisi KDRT itu yang bisa di laporkan kalau di Pacitan itu baru sebatas KDRT yang fisik saja, padahal ucapan yang merendahkan dan menyakiti hati perempuan itu juga bisa masuk dalam kategori KDRT. Definisi ini yang harus lebih bisa kita pahami lagi sebenarnya,” ungkap dokter Hendra Purwaka
Kasus KDRT yang masih menimpa kaum hawa setidaknya menunjukan perjuangan perempuan sangat luar biasa. Momen hari Ibu tanggal 22 Desember haruslah dipahami sebagai tonggak perjuangan perempuan. Perempuan sebagai bagian dari kelompok rentan hendaknya dilindungi bukan diposisikan sebaliknya.
Kondisi demikian tentu sangat memrihatinkan karena perempuan masih dipandang sebelah mata. Hal ini terbukti angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Pacitan semakin tahun justru semakin tinggi.
Perlu diketahui bahwa kasus-kasus KDRT masih banyak yang terabaikan karena perempuan khususnya di Pacitan menganggap KDRT berada di wilayah internal yang tidak perlu di campuri oleh orang lain. Namun, dalam Undang-undang KDRT pada beberapa kasus sudah di jadikan sebagai delik umum. Undang-undang tersebut juga memberi perlindungan lebih bagi korban dan memberi keringanan dalam proses pengaduan dan penyelesaiannya.
Ririn Subianti, anggota komisi B DPRD Kabupaten Pacitan menyampaikan, “Jangan menganggap bahwa ketika sedang mengalami kasus KDRT kemudian justru menganggap itu aib dan kemudian dia simpan sendiri justru semakin panjang dia memendam ketersiksaan itu maka itu tidak akan menyelesaikan masalah secara pribadi tapi justru akan menambah dampak misal pada anak anak dan jangka panjang akan terhenti semangat hidupnya. Paling tidak, jika mengalami KDRT bisa curhat kepada orang yang minimal bisa dipercaya sebelum melaporkan pada aparat,”jelasnya
“KDRT itu memang di pengaruhi banyak faktor. Perempuan itu memang posisinya lemah atau dilemahkan system. Keterbatasan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan jejaring ekonomi yang penuh keterbatasan. Apalagi dengan adanya tradisi perempuan harus di bawah atau di belakang atau perempuan harus manut ngalah kemudian kalau ada apa apa gak boleh sambat ini yang perlu dirubah dan tugas kita memberikan pemahaman bahwa perempuan itu berdaya, berbudaya dan kuat,” pungkas Ririn.