Dalam rangka mendorong akselerasi pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas dengan tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Kesehatan (Menkes), dan Menteri Agama (Menag) menyusun Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi COVID-19.
Dalam awal paparan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim secara daring di Jakarta, pada Selasa (30/03) menyampaikan beberapa hal terkait latar belakang pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas harus segera dilaksanakan.
“Salah satu tantangan terbesar adalah murid tidak bisa birnteraksi dengan teman dan guru mereka, selain itu pembelajaran tatap muka kenyataannya memang sulit untuk digantikan dengan pembelajaran jarak jauh”, jelas Nadiem.
Dalam paparannya terkait vaksinasi, ia menyampaikan bahwa vaksinasi untuk pendidik dan tenaga pendidikan akan diberikan untuk semua jenjang di satuan pendidikan baik formal maupun non formal, termasuk pendidikan keagamaan. Prioritas vaksinasi dilakukan berdasarkan tingkat kesulitan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
“Makanya kalau vaksin sudah tiba, kami akan memprioritaskan yang paling muda dulu, PAUD, SD, SLB dan sederajat karena paling sulit melakukan PJJ. Baru Tahap SMP, SMA, SMK dan sederajat, dan akhirnya tahap ketiga perguruan tinggi. Kenapa yang paling muda dulu karena mereka paling sulit melakukan PJJ dan paling berpotensi ketinggalan yang paling besar”, urai Nadiem.
Sesuai dengan harapan Presiden vaksinasi untuk pendidik dan tenaga pendidik selesai akhir bulan Juni 2021. Untuk itu target vaksinasi tahap 1 untuk jenjang PAUD, SD, SLB dan sederajat pada akhir minggu kedua bulan Mei 2021, lalu jenjang SMP, SMA, SMK dan sederajat diharapkan selesai pada akhir minggu keempat bulan Mei 2021, untuk jenjang perguruan tinggi ditargetkan selesai akhir minggu kedua bulan Juni 2021. Sedangkan untuk vaksinasi tahap 2 dilaksanakan sesuai dengan jenis vaksin dan interval yang ditetapkan.
“Ini adalah target kami, target yang tidak mudah dicapai, tapi kami sebagai pemerintah pusat ingin mentarget suatu target yang aspirasional. Agar kami bisa memastikan di bulan Juli hampir semua sekolah kita, bisa melakukan tatap muka secara terbatas”, ucapnya.
Sesuai arahan presiden, Nadiem mendorong untuk semua pemerintah daerah yang sedang melakukan vaksinasi untuk memprioritaskan guru dan tenaga pendidik sebagai sektor essential yang sangat penting, karena ini sektor yang terakhir di daerah-daerah yang masih tertutup.
Pada kesempatan yang sama, Nadiem menjelaskan sejarah dikeluarkannya SKB 4 Menteri. Dari bulan Juni 2020, sebenarnya daerah zona hijau dan kuning diperbolehkan melaksanakan PTM dan di bulan Januari 2021 semua daerah diperbolehkan melaksanakan PTM Terbatas dengan protokol kesehatan, tapi kenyataanya hanya 22% sekolah di Indonesia yang melaksanakan PTM Terbatas.
“Karena perkembangan tatap muka masih pelan, maka kami di pemerintah pusat merasa harus mendorong lebih jauh lagi dan Alhamdulillah dengan adanya vaksinasi, ada kesempatan untuk akselerasi”, jelasnya.
Selanjutnya Nadiem menjelaskan bahwa Indonesia termasuk ketinggalan, karena 85 persen Negara-negara di Asia Timur dan Pasifik sudah melaksanakan pembelajaran tatap muka.
“Dan berbagai pihak, pakar-pakar dunia semacam Bank Dunia, WHO dan UNICEF semuanya sepakat bahwa penutupan sekolah ini bisa menghilangkan pendapatan hidup satu generasi, loss of learning ini real dan memang resiko dampaknya permanen” urainya.
Lebih lanjut Nadiem mengatakan, bahwa penutupan sekolah tidak hanya berdampak pada pembelajaran, melainkan berdampak negatf pada kesehatan, perkembangan mental anak dan kesulitan orang tua bekerja karena harus mendampingi anak di rumah.
“Tren yang terjadi di Indonesia sangat mengkawatirkan, tren anak putus sekolah, penurunan capaian pembelajaran apalagi di daerah-daerah dimana akses dan kualitas itu tidak tercapai karena kesenjangan ekonomi menjadi lebih besar. Dan adanya isu-isu kekerasan domestik yang terjadi di dalam keluarga yang tidak terdeteksi kadang-kadang. Resiko tidak hanya pada pembelajaran tetapi resiko masa depan murid, resiko psikososial atau kesehatan mental dan emosional daripada anak-anak. Ini semuanya sangat rentan”, ucapnya.
Nadiem menegaskan, untuk itu pemerintah harus mengambil tindakan tegas agar ini tidak menjadi sesuatu dampak yang permanen dan satu generasi menjadi terbelakang atau tertahan perkembangan kesehatan mental anak.
Dari hasil riset di dunia, Nadiem menjelaskan bahwa pendidik dan tenaga pendidik memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap COVID-19 karena umurnya dibandingkan murid-murid. Kelompok usia 3 – 18 tahun memiliki tingkat mortalitas yang lebih rendah dibandingkan yang lainnya dan Rate infeksi pada anak, terutama umur 18 tahun secara umum bergejala ringan, semakin kecil anak semakin kecil peluang menularkan COVID-19.
“ Inilah yang menjadi alasan di berbagai negara yang dimana kasus infeksinyapun sangat tinggi, sekolah-sekolah sudah melakukan tatap muka”, jelasnya.
Oleh karena itu esensi dari SKB 4 Menteri tersebut adalah setelah pendidik dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan divaksinasi COVID-19 secara lengkap, pemerintah pusat, pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil), atau kantor Kementerian Agama (Kemenag) mewajibkan satuan pendidikan untuk menyediakan layanan pembelajaran tatap muka terbatas dengan tetap menerapkan protokol kesehatan dan pembelajaran jarak jauh.