Halopacitan, Pacitan—Rumah berlantai tanah tersebut bisa disebut hanya memiliki satu ruangan. Ruang tamu, ruang tidur, dan dapur menjadi satu.
Sebuah tempat tidur dan kursi tua berada di bagian depan. Sementara beberapa alat masak dan tungku api ada di dapur yang menunjukkan perempuan tua itu tidak menggunakan kompor gas seperti yang kebanyakan masyarakat yang lain. Inilah ‘istana’ Sogiyem.
Meski sudah berumur sekitar 100 tahun, Sogiyem nyaris tidak kehilangan daya ingatnya. Dia masih bisa menuturkan secara runtut kisah hidupnya.
Dia adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara. Enam kakaknya sudah meninggal dunia, menyisakan dirinya dan adiknya Tukinem. Perempuan tersebut tidak dikaruniai anak yang bisa merawat hidupnya di usia senja. Meski tiga kali dia berumah tangga, Tuhan tak juga memberi keturunan.
Dapur rumah Sogiyem (sumber: Halopacitan/Sigit Dedy Wijaya)
"Umur kula nggih sampun enten satus tahun, kulo mboten gadah anak, entene namung keponakan, anake sedulur-sedulur kulo [Umur saya itu ya ada kalau seratus tahun, saya tidak punya anak, adanya cuma -keponakan, anak dari saudara-saudara saya],” katanya saat ditemui Halopacitan di rumahnya Jumat (16/02/2018).
Rumah yang ditempatinya inipun bukan miliknya. Tetapi milik Jumiyah, salah satu warga yang juga telah meninggal dunia. “Kalau malam kadang ditemani Tukinem [adiknya], kalau siang ya beginilah, sendirian,” katanya masih dengan bahasa jawa.
Usianya yang sudah cukup renta membut fisik Sogiyem juga tidak memungkinkan untuk bekerja. Hidupnya mengandalkan bantuan dari keponakan, tetangga dan juga para dermawan. “Jalan saja susah, mau bekerja apa?,” imbuhnya.
Sendirian dia tinggal di rumah yang bukan miliknya tersebut (Sumber: Halopacitan/Sigit Dedy Wijaya)
Sogiyem juga jarang untuk masak sendiri. Jika ada uang, dia memilih jajan di warung milik tetangga.
“Sehari Rp5.000. Kadang beli kupat tahu, punten [nasi yang ditumbuk halus,dikasih bumbu atau nasi gurih yang ditumbuk halus], ada lontong juga. Kalau masak sendiri sering gosong,” katanya sambil tertawa terkekeh.
Meski hidup sebatang kara di usia yang sudah sedemikian tua, Sogiyem mencoba untuk tetap menikmati hidupnya. Dia tidak pernah merasa sepi meski hidup sendiri.
“Allhamdullilah tidak sepi, banyak motor lewat, dan juga dekat tetangga,” katanya.(Sigit Dedy Wijaya)