Halopacitan, Punung— Zaki Putra dan teman-temannya tampak terlihat murung. Rencana untuk memancing belut mereka gagal total karena hujan terburu turun dengan derasnya. Apa boleh buat, memburu binatang licin itupun harus dibatalkan.
“Biasanya bisa dapat sampai tujuh belut, ini baru dapat satu sudah turun hujan,” keluh Zaki dengan wajah yang tidak begitu gembira.
Bagi Zaki, memancing belut adalah hal yang lebih mengasyikkan daripada bermain gadget di rumah. Bersama teman-temannya, mereka menyusuri sawah dengan membawa pancing yang disiapkan khusus untuk belut. Berbeda dengan untuk mencari ikan biasa, pancing belut dibuat tidak menggunakan kail tetapi hanya tali dan mata pancing saja.
Mereka akan sangat gembira ketika menemukan lubang kecil yang tersamar di lumpur sawah. Dengan hati-hati mereka memasukkan pancing ke dalam lubang. Agar bisa masuk tali pancing harus diplintir-plintir.
Setelah itu yang mereka lakukan hanyalah menunggu. Begitu ada tanda-tanda pancing ditarik dari bawah, Zaki dan teman-temannya akan segera menarik tali. Dan itulah saat-saat paling menggembirakan ketika seekor binatang melata meronta-ronta saat ditarik dari dalam tanah.
“Kalau sudah di ketangkep masih sulit juga melepasnya dari pancing, karena licin,” kata Rafi, anak yang lain Jumat (06/04/2018).
Zaki Putra Pratama yang duduk di kelas V di SDN Gondosari 1 Kecamatan Punung, mengaku mancing belut menjadi hal yang biasa mereka lakukan. Cukup bermodal pancing dan cacing untuk umpan, dalam sehari dia sudah bisa mencukupi lauk keluarga.
"Lumayan buat di rumah dan hampir setiap hari mancing belut habis sekolah,” tambahnya. Jangan remehkan belut, karena binatang ini dikenal memiliki protein tinggi.
“Kalau [belutnya] sudah dimasak bisa nambah kalau makan," tambah Rafi sembari terkekeh.
Begitulah mereka, anak-anak yang masih bersahabat dengan alam. Bermain dengan semesta dan bercanda dengan lingkungan. Mereka, adalah anak-anak yang belum terkurung oleh teknologi yang menjadikan orang individualistik dan egois. (Sigit Dedy Wijaya)