Masjid Tiban Nurul Huda
Halo Wisata

Masjid Tiban Tanjungpuro, Jejak Sunan Geseng Yang Ditemukan Melalui Petunjuk Perkutut

  • Sekilas Masjid Nurul Hudda yang terletak di Dusun Tanjung Desa Tanjungpuro, Kecamatan Ngadirojo, Pacitan ini terlihat sebagai bangunan modern, tetapi sebenarnya masjid ini memiliki sejarah yang cukup tua.

Halo Wisata
AZ

AZ

Author

 

Halopacitan, Ngadirojo—Disebut juga Masid Tiban Tanjungpuro, bangunan ini berdiri, hanya 30 meter dari jalan raya Pacitan-Lorok. Ada dua jalur untuk sampai di masjid tersebut, pertama melalui jalur Pacitan-Lorok melalui Ketro Kebonagung dan kedua melalui Jalur Lintas Selatan. Kedua-duanya memiliki jarak yang hampir sama sekitar 48-52 kilometer dengan waktu tempuh satu jam perjalanan bahkan lebih menggunakan sepeda motor atau mobil.

Masjid ini diyakini peninggalan ulama awal penyebaran Islam di Pacitan, atau bahkan di Jawa. Nur Salim (50), yang merupakan generasi ke-5 pemangku masjid Tiban Nurul Hudda mengatakan berdasarkan cerita tutur yang dikisahkan secara turun temurun masjid ini merupakan peninggalan Sunan Geseng.

Sejumlah catatan menunjukkan Sunan Geseng memang banyak bergerak menyebarkan Islam, khususnya di Jawa sisi selatan. Jejaknya bisa ditemui dari Purworejo hingga Pacitan.

Nama asli Sunan Geseng  adalah Raden Mas Cakrajaya atau Cokrojoyo, putra Pangeran Semono yang merupakan keturunan Prabu Brawijaya, raja Majapahit yang selanjutnya menjadi murid Sunan Kalijaga. Masjid Nurul Huda menjadi salah satu dari beberapa masjid di Jawa yang dikaitkan dengan gerakan dakwah dari Sunan Geseng ini. Di Bagelan Purworejo juga ada sebuah masjid yang juga kabarkan didirikan oleh Sunan Geseng ini. Jejak Sunan Geseng juga tersebar di Yogyakarta, Magelang dan banyak tempat lagi.

Nur Salim mengakui tidak ada satupun yang mengetahui kapan persisnya Sunan Geseng berdakwah di Ngadirojo dan juga membangun sebuah masjid. Dia menceritakan pertama kali menemukan bangunan masjid tiban ini yakni Ki Ageng Bandung,  yang mendengar suara burung perkutut yang sangat merdu. Maka dicarilah burung tersebut.

Ada beberapa versi cerita mengenai Ki Ageng Bandung tersebut, salah satunya menurut Nur Salim, bahwa ki Ageng Bandung merupakan seorang pengembara yang berasal dari Priangan Bandung Jawa Barat, karena tidak tahu nama aslinya sehingga terkenalnya dengan sebutan Ki Ageng Bandung.

"Ceritanya, dulu di daerah ini masih rawa-rawa semua dan belum ada penduduk, Ki Ageng Bandung saat mendengar suara burung kemudian mencarinya menggunakan gethek [perahu dari rangkaian bambu], setelah suaranya semakin dekat, burung tersebut ternyata hinggap di pohon Tanjung, dan saat Ki Ageng mencoba mendekati, burung tersebut terbang ke sebuah pulau kecil, kemudian disusulnya lagi menggunakan gethek," kata Nur Salim.

Sesampainya di pulau kecil itu, ki Ageng Bandung menemukan sebuah bangunan dari bata merah yang tebalnya 50 centimeter dan ada sebuah sumur yang terletak di sebelah baratnya. Di tempat itu juga dijumpai burung perkutut yang memiliki suara merdu.

"Waktu saya masih kecil, burung perkutut itu masih banyak di sini, dan jinak bahkan tidak terbang kalau hanya dipegang saja, tapi tidak seorang pun berani menangkap atau memeliharanya, karena pernah kejadian ada yang berniat menangkap untuk memelihara kemudian orang tersebut sakit-sakitan. Burung tersebut juga berangsur-angsur mulai hilang kemungkinan sudah banyaknya penduduk dan burungnya pindah," katanya

Jika dilihat dari silsilah imam masjid, bangunan ini memang sasangat tua. Imam masjid pertama yang tercatat adalah KH Musthofa, musafir Solo yang menetap di masjid ini dan menjadi imam tahun 1790-1850. Jika mengacu pada angka tahun tersebut, maka masjid ini sudah digunakan lagi pada era Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senapati dan masih menjadi penerus Kerajaan Demak.

KH Mustofa kemudian dilanjutkan KH M Yusuf antara 1850-1927 kemudian KH M Yunus 1927-1975 dan Kyai Dawud 1975-1991 dan Kyai Alayasak 1991-2004.

Terlihat dari depan terlihat sebagai bangunan modern (Halopacitan/Sigit Dedy Wijaya)

Sebelum direhab pertama kali pada tahun 1975, Nur Salim mengaku pada saat itu masih duduk di bangku SD. Diceritakannya bangunan tersebut memiliki tebal sekitar 50 centimeter, dengan tinggi bangunan dua meter dan atas dinding tersebut dikasih tiang-tiang penyangga atap dan juga dipasang gedhek bambu tapi jarang-jarang. "Gedheknya itu tidak rapat dan untuk pelekat bata tersebut hanya dari tanah liat dan bukan dari semen atau gamping," terangnya

Masjid yang berukuran panjang sekitar 20 meter dan lebar delapan meter itu kini bentuknya sudah dirubah total dari aslinya, mulai dari lantai, dinding hingga atapnya dan sudah terlihat cukup modern karena masjid ini sudah mengalami pemugaran bentuk selama empat kali.

"Sudah empat kali direhab, pertama tahun 1975, 1986, 1998 dan terakhir tahun 2017 lalu, membangun teras samping kanan masjid, dan hampir seluruhnya sudah direhab," jelasnya

Saat merehab pertama kali banyak kejadian-kejadian aneh yang menimpa. Nur Salim mengisahkan, malam sebelum rehab dimulai, ayahnya yakni Kiai Dawud melakukan sholat istikarah di masjid itu, namun sebelum usai sholat ada orang yang mendatanginya beberapa kali untuk berjabat tangan,

"Saat mulai merehab awal itu ayah saya terbaring tidak bisa apa-apa sepeti orang sakit, kemudian setelah selesainya merehab baru ayah saya bisa bergerak seperti sediakala, kemudian rehab kedua saya sendiri yang mengalami hal seperti itu hingga beberapa bulan hingga selesai direhab, dan rehab ketiga serta keempat itu sudah tidak merasakan apa-apa baik saya ataupun keluarga lainnya," katanya

Empat tiang dan pengeret yang masih dipertahankan (Halopacitan/Sigit Dedy Wijaya)

Meski sudah empat kali direhab ada beberapa bagian asli bangunan yang dipertahankan yakni empat tiang kayu untuk joglo beserta pengeret atau kayu yang menghubungkan antar-tiang. Jika di lihat memang terkesan aneh, ada empat tiang dalam jarak sempit yang terletak di tengah masjid.

"Kalau kayunya dari apa jenisnya saya kurang paham, tapi soko atau tiang ini tidak pernah diubah, cuma pernah sekali waktu rehab ditinggikan bawahnya untuk dipasang tegel dan keramik. Itupun dilakukan dengan susah payah saat mengangkatnya, hingga berbagai cara dilakukan," ungkapnya

Untuk pengeret dibiarkan seperti semula dan hanya dipoles cat berwarna coklat. Bahkan di atas tiang tersebut jika terlihat dari luar terdapati sebuah kubah joglo yang jika dari bawah tidak terlihat karena tertutup plafon jika dilihat dari dalam masjid.

Puncak joglo yang juga masih dipertahankan (Halopacitan/Sigit Dedy Wijaya)

"Di atas plafon tersebut masih tersimpan pakaian yang pernah dikenakan Sunan Geseng lengkap, seperti jubah, sorban dan seperangkat sholat lainnya yang masih tersimpan di atas," imbuhnya.

Sebelum direhab, lanjut Nur, tidak sedikit orang dari berbagai daerah hingga luar Jawa sering berdatangan, untuk melihat, berdoa dan juga beribadah di masjid tiban tersebut. Namun seiring perubahan yang terjadi di Masjid tersebut berangsur-angsur menurun orang dari luar daerah yang datang berkunjung. Masjid tersebut hingga kini menjadi tempat ibadah dan kegiatan keagamaan warga masyarakat setempat.  (Sigit Dedy Wijaya)