PACITAN-Setelah menemukan Gua Song Agung, dua peneliti yakni Goenadi Nitihaminoto dari Balai Arkeologi bersama Dr, Harry Alllen dari Anthropologi Departemen Univeristy of Auckland New Zeland pada 11 Februari 1989 kemudian melakukan penelitian awal.
Karena di permukaan tanah lantai gua tidak ditemukan tanda-tanda bekas kehiduan, keduanya memutuskan untuk melakukan pengorekan permukaan tanah.
Pengorekan dilakukan di dua tempat yaitu di tengah dan di bagian kiri mulut goa tersebut. Kedua tempat ini dikorek tidak lebih dari 0,5 meter persegi dengan ke dalaman kurang dari 10 cm. Sedikitnya daerah yang digali agar tidak merusak situs tersebut.
Dari kegiatan ini ditemukan tatal batu, beberapa pecahan tulang dan kereweng (pecahan gerabah). Beberapa di antara tatal batu yang dikumpulkan mempunyai ciri alat yang pernah dipakai di masa lalu. Tulang yang dikumpulkan tampaknya berasal dari ukuran besar sedang dan kecil. Tulang-tulang yang berukurang besar tidak ada yang utuh, semua telah pecah menjadi kepingan kecil. Tulang berukuran sedang tidak pecah tetapi patah, sedang yang kecil juga dalam keadaan patah.
Data artefak dan ekofak yang dikumpulkan merupakan tanda bahwa gua itu pernah dihuni di masa lampau. Berdasarkan atas kedaaan artfak dan ekofak yang mempunyai perbedaan jenis, bentuk dan ukuran, dapat diprkirakan bahwa perbedaan itu berkaitan dengan masa hunian yang berbeda pula. Dengan demikian apakah gua ini pernah dihuni oleh manusia dalam beberapa periode waktu yang brelainnan?
Tetapi itu baru dugaan awal. Temuan itu harus diidentifikasi lebih lanjut. Identifkasi pecahan tulang untuk mengetahui jenis dan tingkat fosilisasi akan dilakukan oleh dokter S,Boedi Sampuoerna dari Laboratarium Bio- Paleoantropologi Yogyuakarta. Sedangkan tatal-tatal batu diidentifikasi oleh Harry Widianto untuk mengetaui ciri kealatannya dan perkiraan waktu pembuatannya. Sementara identifikasi Kereweng untuk memperoleh gambaran bentuk dan teknologi yang berkaitan dengan waktu pembuatannya akan dilakukan sendiri oleh Goenadi Nitihaminoto . Sementara identifikasi keramik asing dilakukan oleh Abu Ridho.
Goenadi Nitihaminoto dalam laporan penelitianya menulis, identifikasi lebih lanjut menyimpulkan temuan terdiri dari lima macam yakni 33 tatal batu, satu kereweng, satu pecahan keramik, 26 pecahan tulang dan dua pecahan kerang.
Dari tatal batu yang berjumlah 33 potong setelah diidentifikasi hanya ditemukan dua potong yang diperkirakan sebagai alat. Kedua potong tatal yang diperkirakan sebagai alat tersebut diidentifikasikan sebagai alat serpih dan bilah.
Alat serpih (flake) bentuknya pipih melebar tidak beraturan. Bahan pembuatnya mungkin dari tufa kersikan. Alat memiliki panjang 2,9 cm, dan tebal 0,6 cm.
Sedangkan alat bilah yang ditemukan bentuknya memanjang, berpenampang iris segitiga. Bahan pembuatnya mungkin dari batu gamping kersikan . Alat memiliki panjang 5,1 cm, lebar 2,5 cm dan tebal 1,3 cm.
Sedangkan potongan keramik yang ditemukan memiliki panjang 2,0 cm, lebar 1,4 cm, dan tebalnya 0,3 cm. Pecahan ini berasal dari bentuk piring kecil, diameter 14 cm, tinggi 3,5 cm.
Piring kecil ini terbuat dari bahan batuan (atone ware), warna abu-abu kecoklatan. Glasir berwarna hijau kekuningan, mengkilat, tipis dan melapis bagian-bagian muka dan belakang. Keramik itu berasal dari dinasti Song Akhir, pada akhir abad 13 M dari daerah China Selatan.
Keramik ini sendiri memunculkan pertanyaan karena umurnya terhitung mudah yakni sekitar 700 tahun. Padahal manusia purba ada jauh sebelum itu bahkan ribuan tahun sebelumnya. Kenapa ada keramik yang terhitung modern di tempat itu? Simak dalam tulisan selanjutnya (Bersambung)