Melacak Bengkel Manusia Purba di Ngrijangan Pacitan (Bagian III): Keramik China di Gua Purba

Jumat, 21 Januari 2022 10:08 WIB

Penulis:Amirudin Zuhri

Song Terus1.jpg
Song Terus atau Song Agung (Ist)

PACITAN-Setelah menemukan Gua Song Agung, dua peneliti yakni  Goenadi Nitihaminoto dari Balai Arkeologi bersama Dr, Harry Alllen dari Anthropologi Departemen Univeristy of Auckland New  Zeland pada 11 Februari 1989  kemudian melakukan penelitian awal.

Karena di permukaan tanah  lantai gua tidak ditemukan tanda-tanda bekas kehiduan, keduanya memutuskan untuk melakukan pengorekan permukaan tanah.

Pengorekan dilakukan di dua tempat yaitu di tengah dan di bagian kiri mulut goa tersebut. Kedua tempat ini dikorek tidak lebih dari 0,5 meter  persegi dengan ke dalaman kurang dari 10 cm. Sedikitnya daerah yang digali agar tidak merusak situs tersebut.

Dari kegiatan ini ditemukan tatal batu, beberapa pecahan tulang dan kereweng (pecahan gerabah).  Beberapa di antara tatal batu yang dikumpulkan mempunyai  ciri alat yang pernah dipakai di masa lalu. Tulang yang  dikumpulkan tampaknya berasal dari ukuran besar sedang  dan kecil. Tulang-tulang yang berukurang besar tidak ada  yang utuh, semua telah pecah menjadi kepingan kecil.  Tulang berukuran  sedang tidak pecah tetapi patah, sedang  yang kecil juga dalam keadaan patah.

Data artefak dan ekofak yang dikumpulkan merupakan tanda  bahwa gua itu pernah dihuni di masa lampau. Berdasarkan  atas kedaaan artfak dan ekofak yang mempunyai perbedaan jenis, bentuk dan ukuran, dapat diprkirakan bahwa  perbedaan itu berkaitan dengan masa hunian yang berbeda  pula. Dengan demikian apakah gua ini pernah dihuni oleh  manusia dalam beberapa periode waktu yang brelainnan?

Tetapi itu baru dugaan awal. Temuan itu harus diidentifikasi lebih lanjut. Identifkasi pecahan tulang untuk mengetahui jenis dan  tingkat fosilisasi akan dilakukan oleh dokter  S,Boedi Sampuoerna dari Laboratarium Bio- Paleoantropologi Yogyuakarta. Sedangkan tatal-tatal batu  diidentifikasi oleh Harry Widianto untuk mengetaui ciri  kealatannya dan perkiraan waktu pembuatannya. Sementara identifikasi Kereweng untuk memperoleh gambaran bentuk dan teknologi yang berkaitan dengan  waktu pembuatannya akan dilakukan sendiri oleh Goenadi Nitihaminoto . Sementara identifikasi keramik asing  dilakukan oleh Abu Ridho.

Goenadi Nitihaminoto dalam laporan penelitianya menulis, identifikasi lebih lanjut menyimpulkan temuan terdiri dari lima macam yakni 33 tatal batu, satu kereweng, satu pecahan keramik, 26 pecahan tulang dan dua pecahan kerang.

Dari tatal  batu yang berjumlah 33 potong setelah diidentifikasi hanya ditemukan dua potong    yang  diperkirakan    sebagai    alat.   Kedua potong tatal  yang   diperkirakan sebagai  alat   tersebut diidentifikasikan sebagai  alat serpih    dan   bilah. 

Alat  serpih (flake) bentuknya  pipih  melebar tidak beraturan. Bahan pembuatnya mungkin    dari   tufa  kersikan. Alat memiliki panjang 2,9 cm, dan tebal 0,6 cm.

Sedangkan alat  bilah  yang ditemukan bentuknya memanjang, berpenampang iris segitiga. Bahan  pembuatnya mungkin dari batu gamping kersikan . Alat memiliki panjang 5,1 cm,    lebar 2,5 cm  dan  tebal 1,3 cm. 

Alat  bilah dan alat serpih (kanan)  dari Gua Song Agung/Balai Arkeologi Yogyakarta

Sedangkan potongan keramik yang ditemukan  memiliki panjang 2,0 cm, lebar 1,4 cm, dan    tebalnya 0,3 cm. Pecahan ini berasal dari bentuk piring  kecil,  diameter 14 cm, tinggi 3,5 cm. 

Piring kecil ini terbuat  dari bahan batuan (atone   ware), warna abu-abu kecoklatan. Glasir    berwarna hijau   kekuningan, mengkilat, tipis  dan   melapis bagian-bagian muka dan    belakang. Keramik itu berasal dari    dinasti Song Akhir, pada  akhir abad 13 M  dari  daerah    China  Selatan.

Keramik ini sendiri memunculkan pertanyaan karena umurnya terhitung mudah yakni sekitar 700 tahun. Padahal manusia purba ada jauh sebelum itu bahkan ribuan tahun sebelumnya. Kenapa ada keramik yang terhitung modern di tempat itu?  Simak dalam tulisan selanjutnya (Bersambung)