Halopacitan,Pacitan— Siapa yang tak kenal Habiburrahman El Shirazy. Santri kelahiran Semarang 30 September 1976 yang sukses dengan novel Ayat-Ayat Cinta. Ketika diangkat di layar lebar, kisah inipun juga meraih sukses.
Habiburrahman, lulusan Al-Azhar, Kairo yang kini juga memiliki pondok pesantren itu menggunakan tulisan sebagai media dakwahnya dan terbukti efektif. Karya-karyanya banyak diminati tak hanya di Indonesia, tetapi juga di mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Brunei, Hongkong, Taiwan, Australia, dan Komunitas Muslim di Amerika Serikat.
Selai Ayat-Ayat Cinta, buku lain karyanya adalah Di Atas Sajadah Cinta, Ketika Cinta Berbuah Surga (2005), Pudarnya Pesona Cleopatra (2005), Ketika Cinta Bertasbih (2007), Ketika Cinta Bertasbih 2 (Desember, 2007) Dalam Mihrab Cinta (2007), Bumi Cinta, (2010) dan The Romance. Habiburrahman membuktikan dakwah tidak sekadar dilakukan dengan ceramah, tetapi juga dengan cara menulis.
Hal inilah yang mendorong Pondok Pesantren Tremas Pacitan juga tidak hanya membekali kemampuan santrinya dengan ilmu agama, tetapi juga dengan kemampuan menyampaikan ide dalam bentuk kalimat dan paragraf.
Untuk membekali para santri dengan kemampuan menulis, pondok pesantren tertua di Kabupaten Pacitan tersebut menggelar workshop jurnalistik Jumat (09/02/2018). Pelatihan ini merupakan agenda tahunan yang dilaksanakan Perpustakaan Attarmasie, Ponpes Tremas.
Rozi, SH, guru pembimbing pondok pesantren ini mengakui budaya santri selama ini dikenal dengan budaya yang sangat oral. Masih jarang santri keluar dari pondok memiliki nilai literasi dan kemampuan menulis.
Padahal, di era sekarang ini, di mana teknologi informasi sangat canggih, menulis menjadi salah satu kemampuan penting agar bisa memanfaatkan teknologi tersebut. Dengan kemampuan menulis, mereka bisa memanfaatkan media sosial seperti facebook, twitter, dan lain sebagainya untuk menyebarkan ajaran agama alias berdakwah.
“Kami ingin setelah keluar dari pondok Tremas para santri mampu berdakwah bukan hanya lewat lisan tapi juga dengan tulisan-tulisan. Untuk itu pemberian kemampuan menulis bagi santri dilakukan,” katanya.
Pelatihan ini merupakan agenda tahunan yang dilaksanakan Perpustakaan Attarmasie, Ponpes Tremas. Ulul Azmi, S.Pd, guru pembimbing lain juga mengakui pentingnya kemampuan menulis bagi para santri. Kemampuan ini akan sangat penting bagi mereka untuk menggunakan cara yang tepat dalam berdakwah dan menyebarkan ilmu mereka ke masyarakat.
"Sebenarnya dari santriwan dan santriwati banyak yang kreatif untuk menulis, cuma dasar-dasar dari jurnalistik itu sendiri belum ada, jadi hanya menulis saja,” katanya kepada Halopacitan.
Puluhan santri yang mengikuti workshop itupun tampak antusias mengikuti pelatihan yang menghadirkan lima narasumber tersebut. Tidak henti-hentinya para pemateri memberikan motivasi bagi para santri untuk mengembangkan kemampuan menulisnya.
Imam Muhtar, narasumber pelatihan tersebut mendorong para santri untuk terus belajar menulis. Berbagai ide yang ada akan bisa diterima di masyarakat salah satunya jika ditulis dengan baik.
"Sebagus dan sebanyak apapun ide yang ada di kepala kita,kalau tidak dituangkan atau ditulis,tidak akan menghasilkan sebuah karya. Dalam sebuah karya ada yang terbaik dan buruk, karya yang terbaik adalah karya yang selesai ditulis. Maka selesaikanlah karyamu,” kata Imam Muhtar, Penulis Buku Tremas Makkah Nusantara yang dihadirkan dalam pelatihan tersebut.
Menulis memang sebuah proses. Tidak mungkin sekali pelatihan langsung bisa. Butuh berlatih yang tidak ada henti-hentinya, keberanian untuk gagal dan juga dikritik. Jika itu dilakukan, tidak menutup kemungkinan Ponpes Tremas akan melahirkan banyak Habiburrahman El Shirazy, generasi Ayat-Ayat Cinta.(Sigit Dedy Wijaya)