Aksi penari Kethek Ogleng di monumen Jenderal  Soedirman disaksikan oleh ribuan pengunjung festival Minggu (14/10/2018)
Halo Budaya

Memberi Ruang Kethek Ogleng untuk Terus Menari

  • Kesenian asli Pacitan, Kethek Ogleng masih terus hidup di tengah himpitan budaya luar yang terus membanjiri Indonesia. Bahkan Bupati Pacitan Indartato berjanji, kesenian ini akan segera ditetapkan sebagai ikon resmi Pacitan.

Halo Budaya
AZ

AZ

Author

Halopacitan, Nawangan—Hal itu disampaikan Indartato saat membuka festival Kethek Ogleng 2018 yang digelar di Monumen Jendral Soedirman, Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan Minggu (14/10/2018). Festival untuk memperingati hari jadi ke-56 Kethek Ogleng tersebut dihadiri tidak kurang dari 15.000 orang dari berbagai daerah.

Festival tahun ini adalah yang kedua digelar. Sebanyak 165 penari dari berbagai tingkatan sekolah se-Kecamatan Nawangan menampilkan tarian yang berlatar belakang kisah Panji Asmara Bangun dan Dewi Sekartaji tersebut.

“Paling lambat tahun 2020 Kethek Ogleng akan menjadi ikon resmi Pacitan.  Agenda setiap bulan Oktober ini juga harus didukung semua stakeholder untuk menjadikan Kethek Ogleng sebagai budaya khas Pacitan,” kata Indartato dalam acara yang juga dihadiri Wakil Bupati Yudi Sumbogo tersebut.

Pada kesempatan tersebut Bupati secara khusus memberikan aspirasi kepada Sutiman, pencipta tari Kethek Ogleng, dan Sukisno (penulis buku pertama) yang merupakan Ketua dan pengelola Sanggar Condro Wanoro. Dia berharap kedua tokoh ini mendapatkan penghargaan khusus. Sedangkan penulis buku Kethek Ogleng, Agoes Hendriyanto, Bakti Sutopo, Arif Mustofa  (penulis buku kedua) dipikirkan untuk melanjutkan studi.

Kethek Ogleng merupakan tarian yang lahir di Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan. Sutiman, adalah orang yang berjasa menciptakan kesenian tersebut.

Tarian mengisahkan kisah asmara Dewi Sekartaji dan Pangeran Panji Asmoro Bangun dari Kediri. Dalam upaya pencariannya untuk menemukan Sekartaji yang melarikan diri karena tidak mendapat restu dari orangtuanya, Asmarabangun sampai di Desa Tokawi. Di tempat inilah kedua orang akhirnya bertemu.

Sutiman yang kini berusia 96 tahun mengisahkan tarian ini dia lahirkan pada Hari Kamis Kliwon, bulan shofar tahun 1962. “Tanggal tepatnya saya justru lupa,” katanya.

Untuk menciptakan tari ini, dia harus melalui perjuangan berat, termasuk berjalan kaki sampai Kebuh Binatang Sri Wedari di Surakarta (sekarang berubah jadi Stadion) hanya untuk melihat kera guna mempelajari gerakannya. Awal-awal dia menampilan tarian ini bahkan harus menggunakan seragam dari karung bekas.

Sedangkan Sutisno, Ketua Sanggar Condro Wanoro berharap kesenian ini akan terus hidup di tengah masyarakat, bahkan terus berkembang. Dia juga mengucapkan terimakasih kepada masyarakat yang hadir.  “Semoga Kethek Ogleng semakin banyak diminati, bahkan menjadi destinasi wisata budaya di Pacitan.”