Eksan, pawang hujan dari Pacitan
Halo Budaya

Pawang Hujan Pacitan Masih Eksis, Bagaimana Sebenarnya Cara Mereka Bekerja?

  • Banyak yang tidak percaya, tetapi banyak juga yang percaya, faktanya profesi pawang hujan memang ada dan jasanya masih banyak digunakan, termasuk di Pacitan.

Halo Budaya
AZ

AZ

Author

Halopacitan, Pacitan—Zaman boleh saja kian modern, ilmu pengetahuan memang semakin tinggi, tetapi pawang hujan ternyata masih memiliki peranan tersendiri. Hampir di setiap acara di Pacitan, terutama yang digelar pada musim hujan dan di ruang terbuka, keberadaan pawang hujan selalu ada.

Tidak banyak orang yang bisa disebut sebagai pawang hujan karena ini merupakan profesi langka yang untuk bisa mendapatkan gelar tersebut tidak sembarang orang bisa.

Eksan warga RT 02 RW 03 Dusun Pojok Desa Tremas, adalah salah satu yang dikenal sebagai seorang pawang hujan. Dia mengaku sampai saat ini masih banyak order untuk menghalau hujan saat digelar sebuah acara. "Biasanya yang sering, pada acara hajatan pernikahan, pelaksanaan perkemahan dan hari jadi Pacitan," katanya kepada Halopacitan Kamis (29/03/2018).

Laki-laki berusia 46 tahun ini membuka sedikit rahasia tentang bagaimana dia mendapatkan kemampuan itu dan cara kerjanya.

Dia adalah bungsu dari tiga saudara yang semuanya lelaki. Namun dari ketiganya hanya Eksan yang memiliki kemampuan pawang hujan yang didapat secara turun-temurun. Sejak masih anak-anak dia sudah memiliki  naluri alam untuk mempelajari kemampuan tersebut.

“Ilmu itu turun-temurun dan masih mempunyai ikatan nasab dari Kraton Yogyakarta, dan leluhurnya dulu rambutnya panjang terus diikat diatas kepala [digelung] seperti keluarga keraton," katanya. Dia mendapat cerita itu juga secara turun-temurun.

Ia mengisahkan sejak remaja sering mendapat wejangan-wejangan dari almarhum ayahnya. Dia dilarang tidur sebelum lewat tengah malam. “Misal ketiduran langsung disiram air, setelah bangun baru diberi nasihat, wejangan dan juga cerita-cerita dari leluhurnya,” kenangnya.

Setelah ayahnya meninggal dan usianya mulai usia 24 tahun, dia mulai dibutuhkan oleh saudara dan warga sekitar untuk menggantikan tugas bapaknya. Sejak saat itulah sampai sekarang dia menjalani profesi sebagai pawang hujan.

Permintaan ternyata cukup tinggi. Bahkan ada 6-7 orang dari berbagai wilayah yang setiap harinya bertamu ke rumahnya untuk meminta jasanya. Tentu saja, permintaan datang saat musim hujan.

Lalu bagaimana sebenarnya cara kerja seorang pawang hujan? Secara rinci Eksan tidak mau membuka rahasianya. Dia hanya mengatakan apa yang dilakukan hanya didasarkan pada doa meminta pada Tuhan penguasa alam.

Pawang hujan, lanjutnya, juga tidak boleh meminta menghentikan hujan, tetapi hanya menyingkirkannya agar tidak jatuh di lokasi acara. Selain itu, sebagai pawang hujan juga harus memahami gerak dan bersahabat dengan alam.

Eksan juga bertekad akan terus menurunkan ilmu leluhurnya itu kepada anak turunnya. Meski semua anaknya perempuan, hal itu tidak akan menghalangi tekadnya.

Saat ditanya tentang tarif untuk menggunakan jasanya, Eksan mengatakan tidak pernah mematok atau meminta. Itu sesuai amanat dari bapaknya.

“Ayah saya dulu berpesan yen tetulung wong, aja sok jaluk, lan ngarani [kalau menolong orang jangan suka minta upah dan mematok harga]. Biasanya yang diterima tergantung keikhlasan dari yang punya hajat.”

Rata-rata umumnya kalau lingkungan sekitar misal ada hajat memberi Rp300.000-Rp500.000, kalau jauh bisa lebih Rp500.000. “Itupun saya tidak minta atau mematok harga, justru itu saya malah bingung kalau ditanya biaya berapa,"pungkasnya.

Pawang hujan menjadi salah satu profesi tua yang ada di bumi nusantara ini. Mereka masih bertahan di tengah modernisasi yang makin cepat. Antara percaya dan tidak percaya, faktanya pawang hujan memang ada. (Sigit Dedy Wijaya)