Segala kemudahan hingga subsidi diberikan Pemerintah kepada rakyatnya terlebih saat pandemic COVID-19 seperti saat ini. Namun sayang, program pemerintah seperti program kartu prakerja dinilai tidak tepat sasaran.
Hasil riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menunjukkan bahwa penyaluran program Kartu Prakerja tidak tepat sasaran. Survei ini digelar pada Agustus 2020 dengan mengambil 346 responden berstatus karyawan dan wirausahawan. Lokasi survei ada di 12 provinsi, termasuk DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dari hasil studi itu, ditemukan bahwa sekitar 91% pekerja yang dirumahkan dan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak mendaftar program Kartu Prakerja. Hasil temuan ini bertolak belakang dengan misi utama Kartu Prakerja yang bertujuan untuk memberikan bantuan sosial (bansos) kepada korban PHK.
Peneliti IDEAS Ahsin Aligory mengatakan, 59% peserta program Kartu Prakerja merupakan karyawan. Sementara sisanya 41% adalah wirausaha.
“Jika melihat responden survei ini yang dirumahkan sangat sedikit sekali mengikuti Kartu Prakerja. Padahal salah satu target Prakerja yaitu menyelamatkan mereka yang terkena PHK,” kata Ahsin, dalam rilis resminya, Kamis, 26 November 2020.
Studi ini juga menunjukkan bahwa sebagaian besar responden menilai program yang ditawarkan Kartu Prakerja masih cukup dangkal. Fakta ini didapat dari jawaban responden yang mengikuti program Kartu Prakerja. Menurut mereka, program pemerintah ini berbeda dengan pelatihan yang pernah mereka dapatkan sebelumnya.
Pelatihan yang mereka ikuti sebelumnya umumnya memiliki 3 tingkatan kualifikasi. Pertama, pelatihan mencari kerja. Kedua, magang sebagai sarana mengenal dunia kerja. Terakhir sertifikasi saat setelah bekerja untuk meningkatkan kompetensi professional.
Ahsin menambahkan bahwa topik pelatihan yang ditawarkan terbilang sangat dasar dan bisa didapatkan secara cuma-cuma di dunia maya. Contohnya, pelatihan bahasa Inggris dasar, administrasi dan sekretaris, teknik menjual apapun, dan sukses bisnis online shop.
“Hal tersebut jauh berbeda dengan kurikulum Balai Latihan Kerja (BLK) yang memiliki desain pelatihan berbasis kompetensi. Bahkan BLK kini telah berspesialisasi pada jenis ketrampilan kerja yang spesifik,” ungkap Ahsin.
Ia mencontohkan beberapa BLK yang memiliki spesialisasi keterampilan kerja yang spesifik. Misalnya, Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja (BBPLK) Bekasi yang fokus pada pusat kejuruan elektronika dan teknologi informasi. Lalu BBPLK Medan sebagai pusat kejuruan pariwisata, dan BBPLK Semarang sebagai pusat kejuruan fesyen.
Sebab itu, menurut dia, mubazir jika pemerintah terus memaksakan untuk melanjutkan program Kartu Prakerja. Mestinya, dana Rp5,8 triliun yang dianggarkan untuk program ini bisa dialihkan untuk membangun pelatihan kerja yang lebih efektif.
Pasalnya, dengan desain Kartu Prakerja sekarang, dana besar itu hanya terbatas mengalir pada 8 platform digital. Semenatara bila dialihkan untuk ekspansi pembangunan BLK Komunitas baru, anggaran ini bisa mencakup pelatihan yang lebih luas.
“Mengalir ke setidaknya 5.600 Pondok Pesantren, Seminari, Dhammasekha, dan Pasraman di seluruh pelosok tanah air,” tutup Ahsin.