Kondisi rumah yang dibangun keluarga Riyanto
Halo Berita

Saat Bantuan Tak Kunjung Datang, Bangkit adalah Sebuah Pilihan

  • Ketika rumah rusak karena bencana dan pemerintah berjanji untuk memberikan bantuan, pastilah semua orang berharap besar. Namun ketika harapan tinggal harapan, maka bangkit secara mandiri adalah pilihan yang paling masuk akal.

Halo Berita
AZ

AZ

Author

Halopacitan, Arjosari— Riyanto, bagaimanapun tidak bisa berlama-lama menjadi pengungsi, tetapi untuk kembali ke rumahnya juga tidak mungkin karena kondisinya sudah tidak memungkinan setelah longsor tahun lalu.

Warga Desa Plumbungan, Kebonagung inipun dengan tertatih-tatih membangun tempat berteduh sendiri dengan sekuatnya. Sebuah rumah, yang lebih layak disebut gubuk, berukuran 2X3,5 meter dia dirikan untuk tinggal bersama istri dan dua anaknya yang masih duduk di sekolah dasar.

Dengan berdinding triplek serta papan seadanya, sedangkan lantai rumah masih terlihat tanah,  sementara untuk penerangan waktu malam hari hanya menggunakan lilin.

Dwi, istri Riyanto,  menyebut pemerintah desa pernah menjanjikan bahwa korban bencana akan mendapat bantuan bangunan rumah. Tetapi hal tersebut diperuntukkan bagi warga yang memiliki tanah milik sendiri.

Oleh karena itu, Dwi pun harus mencari cara untuk dapat tanah, akhirnya ia pun pinjam ke bank untuk membeli tanah yang dia tempati sekarang. Tapi setelah menyiapkan lahan, hingga saat ini, bantuan pun tidak kunjung tiba.

"Saya beli tanah ini Rp18,5 juta, itu pun utang ke bank. Soalnya dulu sama pak Kades disuruh menyiapkan lahan, katanya akan mendapat bantuan dari pemerintah," kata Dwi beberapa waktu lalu.

Dwi mengaku kecewa lantaran telah menyiapkan lahan dan bantuan pun tidak kunjung datang. Bahkan, kepala desa setempat mengatakan supaya tidak usah buru-buru membeli lahan untuk rumah. "Ya ketika kita sudah menyiapkan lahan, Pak kades malah bilang enggak usah buru-buru lho? yang jelas kami kecewa. Apalagi kita ini juga mendengar kabar kalau Desa lain dapat bantuan bedah rumah," ujarnya.

Kemudian karena bantuan tidak kunjung datang, akhirnya ia pun membangun sendiri gubuk yang berukuran 2x3,5 meter untuk tempat tinggal dengan kemampuan seadanya. Menurutnya, ketika sudah mendapat tempat tinggal, kehidupan pun bisa normal kembali seperti sebelum terjadi bencana.

Sedangkan untuk menutupi kebutuhan hidup termasuk menyicil hutang ke bank, Dwi bekerja jadi pembantu rumah tangga. Sementara suaminya bekerja sebagai buruh.

"Alhamdulillah cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan nyicil ke bank. Harapan kami dari dulu sampai saat ini semenjak terkena bencana alam bisa seperti warga lainnya yang terdampak bencana," imbuh Dwi lirih.

Langkah sama diambil Yateni, salah satu warga di Dusun Pathuk Desa Gegeran, Kecamatan Arjosari, Pacitan. Dia tidak mau mau berlarut-larut dengan bencana banjir dan tanah longsor yang menerjang rumahnya 28 November 2017 lalu.

Bagaimanapun tinggal di rumah sendiri, entah bagaimana keadaannya, akan lebih nyaman daripada tinggal menumpang sebagia pengungsi.

"Dulu Pemerintah Desa Gegeran disuruh menenangkan diri dulu, nanti kalau sudah tenang mau balik ke rumah lama atau pindah silahkan. Kita juga tidak mau berlarut-larut di pengungsian, saya juga ingin keadaan itu kembali seperti semula," katanya saat ditemui Halopacitan di sekitar rumahnya Kamis (01/11/2018).

Kemudian, ia bersama anaknya bertekad membangun rumah sendiri di lahan atau tanah yang di milikinya. Sisa-sisa bangunan lama diambilnya untuk dijadikan sebagian bahan rumah baru.

“Takutnya nanti sewaktu-waktu terjadi hujan deras tiba-tiba longsor bagaimana kalau tidak pindah. Soalnya rumah yang lama itu di atasnya sudah banyak pohon-pohon yang sudah ditebang dan tidak mungkin harus tinggal di pengungsian terus. Akhirnya yang rumah lama itu kita bongkar cuma kita sisakan temboknya, dan bahan-bahan seperti atap, kayu maupun lainnya kita manfaatkan untuk dirikan baru seadannya," ujarnya,

Yateni mengaku tidak sedikitpun ada campur tangan dari pemerintah setempat dalam pembangunannya.

Untungnya, ia dan anaknya juga bekerja sebagai tukang bangunan maupun tukang kayu, sehingga dalam mendirikan rumah bisa mengurangi biaya tenaga. Terlebih tetangga juga turut membantu.

"Setidaknya banyak yang kami kerjakan sendiri, kalau untuk upah terus terang kita tidak mampu kalau harus suruh orang lain. Tapi kita juga dibantu gotong royong warga setempat. Dan kalau untuk listriknya belum saya pindah, dulu pernah ke PLN malah disuruh pasang baru, dari pada buat pasang baru mending buat beli kabel dan ditarik dari rumah lama, biar meterannya di rumah lama," terang Yateni.

Menurutnya, ia dan tetangganya,Kadiran, memang tidak mendapat bantuan dalam pembangunan rumah karena bukan warga terdampak longsor, tetapi hanya terdata sebagai pengungsi.

"Saya dan Pak Kadiran ini kan cuma pengungsi bukan terkena longsor, kalau bantuan untuk mendirikan rumah itu tidak ada, yang ada cuma bantuan bahan pokok saja. Yang pasti kita sudah nyaman di sini, insyaallah secepatnya kita akan urus pindah domisili," imbuhnya.

Pantauan Halopacitan, rumah Yateni dan Kadiran ini tidak jauh dari rumah yang lama di Desa Gegeran, dan kurang lebih hanya berjarak sekitar 300 meter. Dinding rumah bagian depan kalsiboard, di bagian samping hanya gedhek dari bilah bambu, sedangkan untuk lantainya sudah di plaster kasar menggunakan semen.

Sebelumnya, Yateni dan Kadiran tinggal di Dusun Pathuk Desa Gegeran, dan saat ini mereka telah mendirikan gubuk di ke RT 02 RW 06 Dusun Kedunggrombyang Desa Kedungbendo.

Dicky Widianto, Kepala Dusun Pathuk Desa Gegeran membenarkan bahwa ada dua rumah yang pindah di Desa Kedungbendo, akan tetapi belum pindah domisili, dan masih terdata menjadi warga di Desa Gegeran.

"Dua rumah di Dusun Pathuk yang pindah ke RT 02 RW 06 Dusun Kedunggrombyang Desa Kedungbendo yakni Yateni dan Kadiran," katanya saat dihubungi Halopacitan Rabu (31/10/2018).

Dicky memaparkan, sebenarnya di Dusun Pathuk ada tiga rumah yang mengungsi walaupun tidak terdampak longsor, di antaranya Rumah Yateni yang diisi dua Kepala Keluarga jumlah enam jiwa. Kemudian rumah Kadiran ada dua Kepala Keluarga jumlah delapan jiwa dan rumah Marno satu Kepala Keluarga jumlah empat jiwa.

"Kalau Pak Marno walaupun pindah rumah tapi masih di bumi Desa Gegeran. Kalau masalah pindah domisili itu terserah warganya sendiri. Untuk bantuan pembangunan rumah hingga saat ini memang belum ada," imbuhnya.