Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT, Syaiful Bahri Lubis, S.S.
Halo Berita

Sejumlah 14 Bahasa Daerah di Propinsi NTT Terancam Punah

  • Kondisi bahasa daerah di propinsi NTT cukup memrihatinkan pasalnya 14 bahasa daerah yang ada di NTT terancam punah. Tiga di antaranya masuk pada kategori fase sangat kritis, yaitu bahasa Beilel, bahasa Kafoa, dan bahasa Sar.

Halo Berita
SP

SP

Author

Kondisi bahasa daerah di propinsi NTT cukup memrihatinkan pasalnya 14 bahasa daerah yang ada di NTT terancam punah. Tiga di antaranya masuk pada kategori fase sangat kritis, yaitu bahasa Beilel, bahasa Kafoa, dan bahasa Sar.

 

Kepala Kantor Bahasa NTT, Syaiful Bahri Lubis seperti dilansir dari kupang.tribunnews.com Minggu (7/3/2021) mengatakan berdasarkan hasil pemetaan bahasa yang dilakukan Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi NTT memiliki 72 bahasa daerah, Jumlah tersebut masih bisa bertambah atau berkurang sesuai verifikasi data yang dilakukan di lapangan.

 

"Jumlah ini bisa saja berbeda dari lembaga lain, semisal SIL atau juga Perguruan Tinggi, tergantung metode penghitungan yang dilakukan," kata Lubis.

 

Lubis mengungkapkan, dari 72 bahasa daerah tersebut, 14 diantaranya hampir punah. Tiga di antaranya sudah masuk pada fase sangat kritis, yaitu bahasa Beilel, bahasa Kafoa, dan bahasa Sar.

Bahkan tambah Lubis, bahasa Beilel tinggal 3 orang penutur, yaitu Usman (65), Karim (68), dan Bernandus (83). Bahasa Beilel terdapat di Dusun Habolat, Desa Probur Utara, Kecamatan Alor Barat Daya, Kabupaten Alor.

 

“Untuk menentukan bahasa yang masuk kategori punah pun berbeda-beda standar, meskipun sebagian besar indikatornya sama. Apabila jumlah penutur bahasa dibawah 1.000 orang, bahasa tersebut sudah masuk kategori hampir punah," jelas Lubis.

 

Adapun bahasa yang paling banyak masuk pada kategori hampir punah, berada di Kabupaten Alor, sebab jumlah bahasa daerah juga paling banyak di kabupaten tersebut. Lubis juga menegaskan, bila penutur bahasa tinggal 3 orang dan tidak ada lagi penutur muda, bahasa ini masuk pada tahap sangat kritis. Keadaan tersebut sebagai "sakratul maut" untuk bahasa tersebut.

 

"Untuk itu, selagi masih ada penuturnya, harus secepatnya diselamatkan. Penyebab bahasa itu punah karena penuturnya tidak menuturkan lagi. Mereka beralih pada bahasa tetangga atau bahasa sekitarnya. Kaum muda tidak mau lagi menggunakannya. Bisa jadi karena kurang percaya diri atau mungkin karena terlindas bahasa tetangga yang lebih dominan," tambahnya.

 

Ia menjelaskan bahasa disebut punah jika tidak ada lagi penuturnya. Jika belum sempat diinventarisasi, seperti direkam, maka bahasa tersebut hanya akan jadi kenangan.

 

"Kalau yang terancam punah sudah (diinventarisasi) dan masih terus disempurnakan dan dilengkapi. Makanya kami terus ke lapangan," ungkap Lubis.

 

Menurut Lubis, bahasa daerah sangat penting karena banyak "harta karun" di sana. Ada ilmu pengetahuan dan teknologi, pengetahuan budaya, pengobatan, kesehatan, kearifan lokal, pertanian, perikanan, dan banyak lagi.

 

"Bila punah sebuah bahasa, maka banyak ilmu pengetahuan juga hilang dan tidak mungkin lagi ditemukan. Makanya, jangan sampai sebuah bahasa hilang atau punah," beber Lubis seraya menambahkan, NTT memiliki 72 bahasa daerah. 25 diantaranya berasal dari Kabupaten Alor.