Ditandatanganinya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 2/2021 tentang pelaksanaan pengupahan pada industri padat karya tertentu dalam masa pandemi COVID-19 mendapat respon dari Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) karena dianggap hanya melindungi keberlangsungan usaha tanpa memperhatikan nasib pekerja.
Timboel Siregar, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) seperti dilansir dari Trenasia.com Jumat (19/2/2021) mengatakan beleid yang diteken 15 Februari 2021 itu telat terbit. Pasalnya, selama ini, baik sebelum pandemi maupun pada saat pandemi, pemotongan upah merupakan hal yang biasa terjadi.
Dia beranggapan aturan ini juga dianggap hanya berpihak ke pengusaha saja tanpa mempertimbangkan hak buruh sebagaimana yang tertera di Pasal 2 Permenaker 2/2021.
Didalam pasal itu berbunyi, peraturan menteri ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan mempertahankan kelangsungan bekerja pekerja/buruh serta menjaga kelangsungan usaha pada industri padat karya tertentu, selama pemulihan ekonomi nasional pada masa pandemi COVID-19.
“Setelah membaca isi Permenaker No. 2 Tahun 2021 ini, saya menilai tidak ada upaya perlindungan bagi pekerja/buruh serta ada upaya untuk mempertahankan kelangsungan bekerja pekerja/buruh, seperti yang diamanatkan Pasal 2. Permenaker ini lebih banyak untuk menjaga kelangsungan usaha saja,” kata Timboel kepada TrenAsia.com, Kamis 18 Februari 2021.
Selanjutnya menurutnya, seharusnya dalam Permenaker ini disebutkan berapa persen upah pekerja yang bisa dipotong sehingga pekerja masih mampu memenuhi kebutuhan hidup layak beserta keluarganya.
Di sisi lain, dia berpendapat sekiranya pemotongan yang layak maksimal 30%. Tidak hanya itu lanjutnya, dalam Permenaker ini pun perlu diatur proses pemotongan upah maupun cara pembayaran upah pekerja tersebut, yang terlebih dahulu diinformasikan kepada pemerintah baik Kementerian Ketenagakerjaan atau Dinas Tenaga Kerja Provinsi/Kabupaten/Kota sehingga ada proses pengawasan dan evaluasi dari pemerintah. Termasuk, apakah memang perusahaan tersebut terdampak pandemi dan sedalam apa dampaknya. Dengan adanya informasi tersebut pemerintah bisa mengukur berapa persen pemotongan upah pekerja.
“Bila memang dampak pandemi ini tidak sistemik dan perusahaan bisa bangkit dengan cukup cepat, maka bisa saja pemotongan upah tersebut dijadikan utang yang akan dibayar ketika perusahaan pulih cash flow-nya. Pemerintah bisa mendorong proses pemotongan upah tersebut sebagai utang,” katanya.
Timboel mengatakan, jangan sampai Permenaker ini menjadi ajang aji mumpung perusahaan yang niatnya memotong upah pekerja, walaupun dampak pandemi tidak terlalu signifikan kepada perusahaan. Sehingga pemerintah memang harus melakukan pengawasan.