Halopacitan, Pacitan—Sesar Grindulu memang tidak setenar Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik yang ketiganya melintasi Indonesia. Tetapi kejadian pada 2011 dan juga gempa-gempa besar lain telah menyadarkan banyak pihak bahwa lempeng lokal juga harus mendapat perhatian besar.
Ahli geologi, Rovicky Dwi Putrohari, yang rajin mengamati aktivitas geologi kegempaan di Indonesia dalam blognya Dongeng Geologi mengatakan Sesar Grindulu merupakan patahan panjang di Pulau Jawa yang berada di Jawa Timur.
Dia menjelaskan apa yang terjadi pada 2011 kemungkinan berupa gerombolan atau swarm gempa yang berupa aktivitas di sesar atau patahan biasanya memang hanya berkekuatan I-II MMI (modified mercally intencity) dan berkekuatan kurang dari 3 Skala Richter (SR) sehingga hanya dirasakan orang-orang di sekitar pusat gempa saja.
Menurut Rovicky, fenomena rentetan gempa tersebut pantas diwaspadai dengan melakukan mitigasi dan riset yang mendalam.
"Misalnya perlu untuk menjawab pertanyaan, apakah mungkin swarm [gerombolan] ini menunjukkan bahwa patahan Grindulu merupakan patahan aktif? Nah ini perlu dijawab dengan riset kegempaan yang benar," kata Rovicky.
Hal tersebut perlu dilakukan agar jangan sampai Grindulu kecolongan seperti Sesar Opak di Yogyakarta yang ternyata aktif kembali pada tahun 2006 dan menimbulkan gempa besar dengan korban ribuan orang.
Dia mengatakan daerah ini sebelumnya dikenal daerah dikenal “aman” terhadap gempa bumi. Bahkan peta geologi teknik yg terbitkan oleh DGTL juga tidak menyebutkan bahya gempa ini. Bahaya-bahaya yg disebutkan dalam peta itu adalah bahaya kebencanaan geologi yang meliputi: bahaya letusan dan aliran lahar gunung Merapi, potensi lempung mengembang, dan kerentanan terhadap kejadian longsoran. Bencana bencana lain seolah terlewat dalam pemikiran.
Tetapi ketika gempa terjadi pada 27 Mei 2006 semua terkesima. Gempa yang berkekuatan 5,9 pada skala Richter selama kurang lebih 57 detik itu memporak-porandakan DIY dan sebagian Klaten.
Masalahnya, menurut Rovicky, Sesar Grindulu juga termasuk patahan yang belum dipetakan secara rinci. Ia mengatakan perlunya memerhatikan aktivitas kegempaan di lingkungan sekitarnya.
Dia mengingatkan patahan pasif atau non-aktif bisa saja aktif kembali karena pengaruh sekitarnya. Ini juga sudah terbukti pada Patahan Opak yang mungkin saja aktif kembali setelah tidur sekian lama. Bangunnya patahanan tidur tersebut bisa dipengaruhi berbagai faktor, seperti aktivitas gunung berapi atau dorongan lempeng lain.
"Adanya beberapa patahan-patahan pasif yang paralel dan berpasangan dengan Patahan Opak ini yang perlu diperhatikan. Misal Patahan Grindulu yang membentang sejajar dengan Patahan Opak dari daerah Pacitan ke arah timur laut. Kajian sejarah kegempaan yang terekam dalam tanah berusia ribuan tahun sepanjang Sungai Grindulu barangkali dapat membantu memberikan periodisasi kegempaan di daerah ini," ujarnya dalam tulisannya.
Hal penting yang harus diingat Sesar Grindulu yang melintasi Pacitan berujung di Laut Selatan sehingga akan rawan menjadi area rambatan gempa apabila terjadi tumbukan antara lempeng benua di Pulau Jawa dengan lempeng samudera di Laut Selatan.
Dia berharap Sesar Grindulu mendapat perhatian serius dari pemerintah untuk melakukan mitigasi. Pemerintah juga perlu memberikan pengetahuan yang benar kepada masyarakat di sekitar daerah rawan bahaya untuk sadar dan waspada setiap saat sehingga dapat mengambil tindakan terbaik saat terjadi bencana. (AZ)