Pacitan, Kebonagung – Memasuki dua dusun ini orang akan langsung disambut dengan jajaran berbagai produk gerabah di kanan kiri jalan. Di banyak rumah, terlihat puluhan orang dengan konsentrasi penuh membentuk tanah liat dengan berbagai bentuk.
Sudah sejak puluhan tahun wilayah ini memang dikenal sebagai sentra gerabah. Struktur tanah liat yang banyak ditemukan di wilayah ini menjadi salah satu pendukung kerajinan tersebut berkembang. Gerabah bahkan telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari detak kehidupan masyarakat dua dusun tersebut. Mayoritas dari mereka mengandalkannya sebagai penopang ekonomi.
Tak ada yang tahu pasti sejak kapan kerajinan gerabah telah ada di tempat ini. Hampir semua penduduk, bahkan yang sudah tua, hanya mengatakan kerajinan gerabah telah ada sejak mereka lahir. Kemampuan membuat gerabah juga didapat secara turun temurun.
Produk gerabah yang mereka hasilkan terbagi dalam dua jenis yakni gerbah tradisional dan gerabah seni. Harganya pun bervariasi. “Harga gerabah seni berkisar antara Rp3.000 hingga Rp900.000, dan untuk gerbah tradisional berkisar antara Rp2.000 hingga Rp50.000, tergantung ukuran serta kesulitan dalam pembuatanya,” kata Siti Zulaikha (44) salah seorang perajin gerabah saat ditemui Halopacitan Selasa (16/10/2018).
Membuat gerabah membutuhkan proses panjang dan tingkat ketelitian tinggi, tetapi bagi perajin yang sudah berpengalaman dalam sehari dia bisa memproduksi 10 hingga 30 gerabah. Namun prosesnya tidak sampai di situ. Produk itu baru setengah jadi dan harus dibakar. Biasanya setiap perajin melakukan proses pembakaran ini 15 hari sekali. Setelah itu gerabah baru bisa dijual ke pasar.
Penjualannya pun bisa dikatakn relatif mudah. Beberapa perajin menjual produknya, melalui distributor yang ada diberbagai daerah bahkan di luar kota, salah satunya dari Tulungagung. Tak jarang ada mobil yang datang untuk memborong produk gerabah yang akan dijual hingga luar jawa. Beberapa perajin juga sudah memanfaatkan media sosial untuk menjual produk mereka.
Sayangnya, di tengah potensi yang cukup tinggi tersebut, keberadaan sentra gerabah tersebut justru mengkhawatirkan karena minimnya generasi muda yang terjun di dalamnya.
Saat ini terdapat sekitar 76 perajin di dua dusun tersebut. Dari jumlah itu hanya satu yakni, Rumini (59) yang bisa memproduksi gerabah seni karena tingkat kesulitan yang tinggi. Perajin lain memproduksi gerabah tradisional. Itupun usianya juga sudah tidak muda lagi.
“Kebanyakan perajin gerabah saat ini, telah memasuki usia 50 tahun, ada beberapa yang masih 40 tahun tapi itu hanya sebagian kecil” kata Suparti (61) yang hampir seumur hidupnya dia jalani dengan membuat gerabah.
Jumlah perajin juga terus turun dari tahun ke tahun. Engganya anak-anak mereka meneruskan usaha orangtuanya, ditengarai menjadi penyebab utama, terancamnya keberlangsungan daerah ini sebagai sentra industri gerabah.
“Anak-anak muda di daerah in setelah lulus SMA , langsung mencari pekerjaan di kota, ada juga yang meneruskan di perguruan tinggi, engan menyentuh tanah liat,” kata Zulaikha (44).
Seperti para perajinnya yang semakin tua, sentra gerabah di Dusun Purwosari dan Gunung Cilik ini seolah juga semakin mendekati usia senja. Butuh usaha dan kesadaran bersama untuk menyelamatkan potensi ini agar tidak punah hingga tinggal menjadi sejarah.